Sabtu, 18 Juni 2011

MPPKB : GLOSARIUM DAN DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

1. Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas
2. Dewan Pengawas BLU adalah organ BLU yang bertugas melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan BLU.
3. Ikhtisar RBA adalah ringkasan RBA yang berisikan program, kegiatan dan
sumber pendapatan, dan jenis belanja serta pembiayaan sesuai dengan format RKA K/L dan format
DIPA BLU.
4. Kementerian Negara/lembaga adalah kementerian nagara/lembaga
pemerintah yang dipimpin oleh menteri/pimpinan lembaga yang bertanggung jawab atas bidang
tugas yang diemban oleh suatu BLU.
5. Pejabat Pengelola adalah Pimpinan BLU yang bertanggungjawab terhadap
kinerja operasional BLU yang terdiri dari Pemimpin, Pejabat Keuangan, dan Pejabat Teknis, yang
sebutannya dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU yang bersangkutan.
6. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) adalah pengelolaan
keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik
bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
7. Persentase Ambang Batas adalah besaran persentase realisasi belanja yang
diperkenankan melampaui anggaran dalam DIPA BLU.
8. Pola Anggaran Fleksibel adalah pola anggaran yang penganggaran
belanjanya dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait
bertambah atau berkurang setidaknya proporsional.
9. Praktik bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi
berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu
dan berkesinambungan.
10. Remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium,
tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.
11. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU (RBA) adalah dokumen perencanaan
bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
12. Satuan Kerja Instansi pemerintah adalah setiap kantor atau satuan kerja
yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang.
13. Sistem Akuntansi BLU adalah serangkaian prosedur manual maupun yang
terkomputerisasi mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan
keuangan BLU.
14. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah prinsip akuntansi yang
ditetapkan oleh ikatan profesi akuntansi dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai
entitas usaha.
15. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah prinsip-prinsip akuntansi
yang ditetapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan Pemerintah.
16. Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah spesifikasi teknis tentang tolok
ukur layanan minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggungjawab Keuangan Negara.
4. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
5. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum.
6. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
Dan Penerapan Stándar Pelayanan Minimal.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah.
8. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
9. Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan
Administratif dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk
Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
10. Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.02/2006 tentang Kewenangan
Pengadaan Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum.
11. Peraturan Menteri Keuangan No. 109/PMK.05/2007 tentang Dewan
Pengawas pada Badan Layanan Umum.
12. Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.02/2006 tentang Pedoman
Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan
Umum sebagaimana telah dirubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
73/PMK.05/2007.
13. Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum.
14. Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK.05/2009 tentang Rencana Bisnis
Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum.
15. Peraturan Menteri Keuangan No. 77/PMK.05/2009 tentang Pinjaman pada
Badan Layanan Umum.
16. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-62/PB/2007
tentang Pedoman Penilaian Usulan Penerapan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
17. Lembaga Administrasi Negara, Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Penerbit Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2004.
18. LAN dan BPKP, Perencanaan Strategis Instansi Pemerintah, cetak ke-2,
Lembaga Administrasi Negara Jakarta, 2000.
19. Deputi IV â¼³ 3HQJDZDVDQ %LGDQJ 3HQ\HOHQJJDUDDQ .HXDQJDQ 'DHUDK %3.3
Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, Jakarta.
20. Nasution, Mulia P., Kebijakan Kerjasama Operasional dan Utang pada
Rumah Sakit Badan Layanan Umum, paper seminar, Jakarta, 2007.

MPPKB : BAB X : PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PEMERIKSAAN

A. PEMBINAAN

Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga, sedangkan pembinaan di bidang
keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Pembinaan keuangan BLU oleh Menteri Keuangan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum). Pembinaan
ini meliputi: perencanaan dan penganggaran; dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA); pendapatan;
belanja; pengelolaan kas dan setara kas; pengelolaan piutang; pengelolaan utang; investasi BLU;
pengelolaan barang; penyelesaian kerugian; akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban; surplus
dan defisit.
B. PENGERTIAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan menurut UU Nomor 15 Tahun 2004 adalah proses identifikasi masalah, analisis dan
evaluasi independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara.
C. PENGAWASAN OLEH DEWAN PENGAWAS
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan BLU dapat dibentuk Dewan
Pengawas. Pembentukan Dewan Pengawas tersebut berlaku pada BLU yang memiliki realisasi
omzet tahunan minimum Rp15.000.000.000 dan/atau nilai aset minimum Rp75.000.000.000.
Jumlah anggota Dewan Pengawas dapat berjumlah 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang tergantung
pada nilai omset dan nilai aset BLU.
a. Anggota Dewan Pengawas berjumlah tiga orang bila nilai omzetnya
maximal sebesar Rp30.000.000.000 dan/atau nilai aset maximal Rp200.000.000.000;
b. Anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang bila nilai omzetnya lebih
dari Rp30.000.000.000 dan/atau nilai aset lebih dari Rp200.000.000.000.
Dewan Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan BLU yang dilakukan oleh
Pejabat Pengelola BLU mengenai pelaksanaan Rencana Strategis Bisnis, Rencana Bisnis dan
anggaran dan peraturan perundang-undangan. Kewajiban Dewan Pengawas BLU yaitu:
1. Memberikan pendapat dan saran kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan
Menteri Keuangan mengenai Rencana Strategis Bisnis dan Rencana Bisnis dan Anggaran yang
diusulkan oleh Pejabat Pengelola BLU;
2. Melaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan
dalam hal terjadi gejala penurunan kinerja BLU;
3. Mengikuti perkembangan BLU dan melaporkan setiap masalah yang
dianggap penting kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan;
4. Memberikan nasihat pada pejabat BLU dalam melaksanakan pengelolaan
BLU;
5. Memberikan masukan, tanggapan dan saran atas laporan keuangan dan
laporan kinerja BLU.
D. PEMERIKSAAN OLEH PEMERIKSAAN INTERN
Fungsi pemeriksaaan dalam pelaksanaan kegiatan di Satker BLU harus ada dalam organisasi satker
tersebut. Fungsi tersebut dilaksanakan oleh Satuan Pemeriksaan Intern (SPI). SPI berkedudukan
sebagai unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pimpinan BLU. Namun apabila Satker
BLU tersebut belum memungkinkan untuk pembentukan SPI maka fungsi pengawasan internal
BLU diserahkan kepada inspektorat jenderal kementerian negara/lembaga yang bersangkutan atau
unit lain yang mendapat kewenangan dari pimpinan BLU untuk melakukan fungsi pengawasan.
Selain itu pengawasan dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP). BPKP
adalah badan atau lembaga pengawasan yang melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa
mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek
pemeriksaannya. Kedudukan BPKP yang terlepas dari semua departemen atau lembaga diharapkan
dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif. BPKP mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan yang dilakukan BPKP diarahkan lebih bersifat preventif atau pembinaan dan tidak
sepenuhnya audit atau represif. Kegiatan sosialisasi, asistensi atau pendampingan, dan evaluasi
merupakan kegiatan yang mulai digeluti BPKP. Sedangkan audit investigatif dilakukan dalam
membantu aparat penegak hukum untuk menghitung kerugian keuangan negara.
E. PEMERIKSAAN OLEH PEMERIKSA EKSTERNAL
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pemeriksa eksternal. Dalam melakukan pemeriksaan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan BLU, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan
pengawasan intern pemerintah.
Jenis-jenis Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Keuangan
Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan
menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang memuat opini atas laporan keuangan yang
diterbitkan oleh entitas pelaporan yaitu BLU. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa
(auditor) mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan
pada kriteria:
- Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
- Kecukupan pengungkapan (adequte disclosures)
- Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
- Efektivitas sistem pengendalian internal
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh auditor yaitu:
- Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
- Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
- Opini tidak wajar (adversed opinion)
- Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion)
Audit (pemeriksaan) dirancang untuk memberikan keyakinan memadai atas pendeteksian salah saji
yang material dalam laporan keuangan. Konsep keyakinan memadai menunjukkan bahwa auditor
bukan seorang penjamin kebenaran laporan keuangan. Salah saji dibedakan menjadi dua yaitu
kekeliruan (errors) dan ketidakberesan (irregularities) . Kekeliruan adalah salah saji yang tidak
disengaja sedangkan ketidakberesan adalah salah saji yang disengaja.
2. Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan kinerja adalah adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas
pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Pemeriksaan kinerja
menghasilkan laporan hasil pemeriksaan yang memuat temuan, kesimpulan dan rekomendasi.
Dalam audit kinerja, tinjauan yang dilakukan tidak terbatas pada masalah-masalah akuntansi saja
namun juga meliputi evaluasi terhadap struktur organisasi, pemanfaatan komputer, metode
produksi, pemasaran dan bidang-bidang lain sesuai dengan keahlian auditor.
3. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan
keuangan dan pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan
atas hal-hal lain di bidang keuangan negara, pemeriksaan investigatif dan pengawasan atas
pengendalian intern.

MPPKB : BAB IX : AKUNTANSI, PELAPORAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN

A. AKUNTANSI

BLU menerapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh asosiasi profesi
akuntansi Indonesia sesuai dengan jenis industrinya. Apabila tidak ada standar akuntansi yang
diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia, BLU dapat mengembangkan standar
akuntansi industri yang spesifik dengan mengacu pada pedoman akuntansi BLU. Standar akuntansi
tersebut ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga setelah mendapatkan persetujuan Menteri
Keuangan.
Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara
tertib. Selain itu, BLU juga harus mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan
mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya.
Sistem akuntansi adalah serangkaian prosedur baik manual maupun terkomputerisasi mulai dari
proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai pelaporan posisi keuangan dan operasi
keuangan. BLU setidak-tidaknya mengembangkan tiga sistem akuntansi yang merupakan sub
sistem dari sistem akuntansi BLU, yaitu sistem akuntansi keuangan, sistem akuntansi aset tetap, dan
sistem akuntansi biaya.
1. Sistem Akuntansi Keuangan
Sistem akuntansi keuangan adalah sistem akuntansi yang menghasilkan laporan keuangan pokok
untuk tujuan umum (general purpose). Tujuan laporan keuangan adalah:
a. Akuntabilitas; mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya
serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada BLU dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara periodik.
b. Manajemen; membantu para pengguna untuk mengevaluasi
pelaksanaan kegiatan suatu BLU dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi
perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh penerimaan, pengeluaran, aset, kewajiban,
dan ekuitas BLU untuk kepentingan stakeholders.
c. Transparansi; memberikan informasi keuangan yang terbuka dan
jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk
mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban BLU dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
Sistem akuntansi keuangan menghasilkan laporan keuangan pokok berupa Laporan Realisasi
Anggaran/Laporan Operasional, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang ditetapkan oleh asosiasi profesi akuntansi
Indonesia/standar akuntansi industri spesifik dan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Laporan keuangan sesuai dengan SAK digunakan untuk kepentingan pelaporan kepada pengguna
umum laporan keuangan BLU, dalam hal ini adalah stakeholders, yaitu pihak-pihak yang
berhubungan dan memiliki kepentingan dengan BLU. Sedangkan laporan keuangan yang sesuai
dengan SAP digunakan untuk kepentingan konsolidasi laporan keuangan BLU dengan laporan
keuangan kementerian negara/lembaga.
2. Sistem Akuntansi Aset Tetap
Sistem akuntansi aset tetap menghasilkan laporan tentang aset tetap untuk keperluan manajemen
aset. Sistem ini menyajikan informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap
milik BLU ataupun bukan milik BLU tetapi berada dalam pengelolaan BLU.
Pengembangan sistem akuntansi aset tetap diserahkan sepenuhnya kepada BLU yang bersangkutan.
Namun demikian, BLU dapat menggunakan sistem yang ditetapkan Menteri Keuangan seperti
Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN).
3. Sistem Akuntansi Biaya
BLU mengembangkan sistem akuntansi biaya yang menghasilkan informasi tentang harga pokok
produksi, biaya satuan (unit cost) per unit layanan, dan evaluasi varian. Sistem akuntansi biaya
berguna dalam perencanaan dan pengendalian, pengambilan keputusan, dan perhitungan tarif
layanan.
B. PELAPORAN
1. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, operasional
keuangan, arus kas BLU yang bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan dalam membuat dan
mengevaluasi keputusan ekonomi.
Laporan keuangan disusun untuk tujuan umum, yaitu memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar
pengguna. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin
dibutuhkan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan BLU menyajikan informasi tentang :
a) Aset;
b) Kewajiban;
c) Ekuitas;
d) Pendapatan dan biaya; dan
e) Arus kas.
2. Tanggung Jawab atas Laporan Keuangan
Pimpinan BLU bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan BLU yang
disertai dengan surat pernyataan tanggung jawab yang berisikan pernyataan bahwa pengelolaan
anggaran telah dilaksanakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, akuntansi
keuangan telah diselnggarakan sesuai dengan standar akuntansi keuangan, dan kebenaran isi
laporan keuangan merupakan tanggung jawab pimpinan BLU.
3. Komponen Laporan Keuangan
Laporan keuangan setidak-tidaknya terdiri dari komponen-komponen berikut ini :
1). Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional
a. LRA menyajikan informasi tentang anggaran dan realisasi
anggaran BLU secara bersama yang menunjukkan tingkat capaian target-target yang telah
disepakati dalam dokumen pelaksanaan anggaran.
b. Laporan operasional menyajikan informasi tentang operasi BLU
mengenai sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh BLU. Laporan
operasional antara lain dapat berupa laporan aktivitas atau laporan surplus defisit.
c. Informasi dalam LRA/laporan operasional, digunakan
bersam-sama dengan informasi yang diungkapkan dalam komponen laporan keuangan lainnya
sehingga dapat membantu para pengguna laporan keuangan untuk :
i. mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber-sumber
daya ekonomi;
ii. menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi, dan
penggunaan sumber daya ekonomi; dan
iii. menyediakan informasi mengenai realisasi anggaran
secara menyeluruh yang berguna dalam mengevaluasi kinerja BLU dalam hal efisiensi dan
efektivitas penggunaan anggaran.
2). Neraca
1) Tujuan utama neraca adalah menyediakan informasi
tentang posisi keuangan BLU meliputi aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
2) Informasi dalam neraca digunakan bersama-sama dengan
informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan lainnya sehingga dapat membantu para
pengguna laporan keuangan untuk menilai :
i. Kemampuan BLU dalam memberikan jasa layanan
secara berkelanjutan;
ii. Likuiditas dan solvabilitas;
iii. Kebutuhan pendanaan eksternal.
3). Laporan Arus Kas
i. Tujuan utama laporan arus kas adalah menyediakan
informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama periode akuntansi
serta saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus kas dikelompokkan dalam aktivitas
operasi, investasi, dan pendanaan.
ii. Informasi dalam laporan arus kas digunakan bersama-sama
dengan informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan lainnya sehingga dapat membantu
para pengguna laporan keuangan untuk menilai:
a) kemampuan BLU dalam menghasilkan kas dan setara
kas;
b) sumber dana BLU;
c) penggunaan dana BLU;
d) prediksi kemampuan BLU untuk memperoleh
sumber dana serta penggunaannya untuk masa yang akan datang.
4). Catatan atas Laporan Keuangan
1) Tujuan utama Catatan atas Laporan Keuangan adalah
memberikan penjelasan dan analisis atas informasi yang ada di LRA/laporan operasional, neraca,
laporan arus kas, dan informasi tambahan lainnya sehingga para pengguna mendapatkan
pemahaman yang paripurna atas laporan keuangan BLU.
2) Informasi dalam Catatan atas Laporan Keuangan
mencakup antara lain:
a) Pendahuluan;
b) Kebijakan akuntansi;
c) Penjelasan atas pos-pos Laporan Realisasi
Anggaran/laporan operasional;
d) Penjelasan atas pos-pos neraca;
e) Penjelasan atas pos-pos laporan arus kas;
f) Kewajiban kontinjensi;
g) Informasi tambahan dan pengungkapan lainnya.
Laporan keuangan pokok di atas disertai dengan Laporan Kinerja yang menjelaskan secara ringkas
dan lengkap tentang capaian kinerja yang berisikan ringkasan keluaran dari masing-masing kegiatan
dan hasil yang dicapai dari masing-masing program yang disusun dalam RBA.
4. Penyajian Laporan Keuangan
Setiap komponen laporan keuangan harus diidentifikasi secara jelas dan menyajikan informasi
antara lain mencakup:
1). nama BLU atau identitas lain;
2). cakupan laporan keuangan, apakah mencakup hanya satu unit usaha
atau beberapa unit usaha;
3). tanggal atau periode pelaporan;
4). mata uang pelaporan dalam Rupiah; dan
5). satuan angka yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan.
5. Konsolidasi Laporan Keuangan BLU ke dalam Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga
BLU menyusun laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). BLU
merupakan satker kementerian negara/lembaga, oleh karena itu laporan keuangan BLU
dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian negara/lembaga. Konsolidasi laporan
keuangan dapat dilakukan jika digunakan prinsip-prinsip akuntansi yang sama. BLU menggunakan
SAK sedangkan laporan keuangan kementerian negara/lembaga menggunakan SAP, karena itu
BLU mengembangkan sub sistem akuntansi yang mampu menghasilkan laporan keuangan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Komponen Laporan Keuangan BLU yang dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan
kementerian negara/lembaga meliputi:
a. Laporan Realisasi Anggaran/ Laporan Operasional;
b. Neraca.
Sistem akuntansi BLU memproses semua pendapatan dan belanja BLU, baik yang bersumber dari
pendapatan usaha dari jasa layanan, hibah, pendapatan APBN, dan pendapatan usaha lainnya.
Sehingga laporan keuangan yang dihasilkan sistem akuntansi tersebut mencakup seluruh transaksi
keuangan pada BLU.
Transaksi keuangan BLU yang bersumber dari pendapatan usaha dari jasa layanan, hibah,
pendapatan APBN, dan pendapatan usaha lainnya wajib dilaporkan dalam Laporan Realisasi
Anggaran kementerian negara/lembaga dan Pemerintah. Oleh karena itu transaksi tersebut harus
disahkan oleh KPPN dengan mekanisme SPM dan SP2D Pengesahan setiap triwulan. Dengan
demikian pelaksanaan SAI di BLU dapat dilakukan secara kumulatif setiap triwulan.
Pos-pos neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas juga dikonsolidasikan ke neraca
kementerian negara/lembaga. Untuk tujuan ini perlu dilakukan reklasifikasi pos-pos neraca agar
sesuai dengan SAP dengan menggunakan BAS yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dalam rangka menyiapkan laporan keuangan untuk tujuan konsolidasi, sistem akuntansi BLU juga
harus menghasilkan data elektronis (berupa file Buku Besar/Arsip Data Komputer â¼³ $'. \DQJ
dapat digabungkan oleh UAPPA-E1/UAPA dengan menggunakan aplikasi Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) tingkat Eselon I atau kementerian/lembaga. Dengan demikian laporan keuangan yang
dihasilkan pada tingkat Eselon I atau kementerian/lembaga telah mencakup laporan keuangan BLU.
Dalam hal sistem akuntansi keuangan BLU belum dapat menghasilkan laporan keuangan untuk
tujuan konsolidasi dengan laporan keuangan kementerian/lembaga, BLU perlu melakukan konversi
laporan keuangan BLU berdasarkan SAK ke dalam laporan keuangan berdasarkan SAP. Proses
konversinya mencakup pengertian, klasifikasi, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan atas
akun-akun neraca dan laporan aktivitas/operasi.
1) Pengertian
Pada umumnya, pengertian akun-akun menurut SAK tidak jauh berbeda dengan SAP. Apabila ada
pengertian yang berbeda, maka untuk tujuan konsolidasi pengertian akun menurut SAP, yaitu
berdasarkan PP No. 24 tahun 2005.
2) Klasifikasi
Klasifikasi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, dan biaya perlu disesuaikan dengan klasifikasi aset
sesuai dengan Bagan Akun Standar yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan.
a) Mapping klasifikasi pendapatan dan belanja ke dalam perkiraan
pendapatan dan belanja berbasis SAI berpedoman kepada Peraturan Menteri Keuangan tentang
Bagan Akun Standar.
b) Mapping klasifikasi neraca, yaitu aset, kewajiban, dan ekuitas
BLU menjadi aset, kewajiban, dan ekuitas dana sesuai dengan Bagan Akun Standar. Akun
penyisihan piutang tak tertagih, akumulasi penyusutan dan akumulasi amortisasi tidak perlu
disajikan di neraca berdasarkan SAP, sepanjang aplikasi SAI belum menerapkan penyisihan piutang
tak tertagih, penyusutan dan amortisasi.
3) Pengakuan dan pengukuran
SAK menggunakan basis akrual dalam pengakuan aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, dan biaya.
Pendapatan diakui pada saat diterima atau hak untuk menagih timbul sehubungan dengan adanya
barang/jasa yang diserahkan kepada masyarakat. Biaya diakui jika penurunan manfaat ekonomi
masa depan yang berkaitan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban telah terjadi dan
dapat diukur dengan andal. Ini berarti pengakuan biaya terjadi bersamaan dengan pengakuan
kenaikan kewajiban atau penurunan aset misalnya, akrual hak karyawan atau penyusutan aset tetap.
SAP menggunakan basis akrual dalam pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas serta basis kas dalam
pengakuan pendapatan dan belanja. Pendapatan diakui pada saat kas diterima pada rekening Kas
Umum Negara.
Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening Kas Umum Negara dan
dipertanggungjawabkan. Pendapatan (tidak termasuk pendapatan yang ditransfer dari APBN) dan
belanja BLU diakui jika pendapatan dan belanja tersebut dilaporkan dengan mekanisme SPM dan
SP2D Pengesahan atas pendapatan dan belanja tersebut. Belanja yang didanai dari pendapatan BLU
diakui sebagai belanja oleh Bendahara Umum Negara jika belanja tersebut telah dilaporkan dengan
mekanisme SPM dan SP2D Pengesahan.
Untuk kepentingan konsolidasi dengan laporan keuangan kementerian/lembaga, perlu dilakukan
penyesuaian atas akun pendapatan dan belanja yang berbasis akrual menjadi akun pendapatan dan
belanja berbasis kas.
Formula penyesuaian pendapatan dan belanja berbasis akrual menjadi berbasis kas adalah sebagai
berikut:
â¼¢ Pendapatan Berbasis Kas = Pendapatan BLU + pendapatan
diterima di muka â¼³ SHQGDSDWDQ \DQJ PDVLK KDUXV GLWHULPD
â¼¢ Belanja Berbasis Kas = Biaya BLU â¼³ %LD\D \DQJ GLED\DU WLGDN
tunai termasuk Penyusutan + utang biaya yang dibayar + biaya dibayar di muka.
4) Pengungkapan
Pengungkapan laporan keuangan sesuai dengan SAP harus mengikuti persyaratan sesuai dengan PP
No. 24 tahun 2005. Konsolidasi LK BLU kedalam LK kementerian negara/lembaga dilakukan
secara berkala setiap semester dan tahunan. Laporan keuangan yang dikonsolidasikan terdiri dari
neraca dan laporan realisasi anggaran.
C. PERTANGGUNGJAWABAN
Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas keberhasilan pencapaian sasaran program
berupa hasil (political accountability), sedangkan pimpinan BLU bertanggung jawab atas
keberhasilan pencapaian sasaran kegiatan berupa keluaran (operational accountability) dan terhadap
kinerja BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.

MPPKB : BAB VIII : PENGELOLAAN KEUANGAN DAN BARANG

A. PENGELOLAAN KAS
Seperti diketahui, satker BLU merupakan satker pemerintah yang memiliki fleksibilitas, dimana
pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan tidak perlu disetor ke Kas Negara. Hal ini berarti
bahwa satker BLU perlu melakukan pengelolaan kas terhadap pendapatan dimaksud. Pasal 16 ayat
(2) PP 23 Tahun 2005 menyatakan bahwa pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktik
bisnis yang sehat. Artinya, pengelolaan kas BLU harus ditujukan dan mampu untuk meningkatkan
layanan kepada masyarakat secara berkesinambungan.
Selanjutnya, dalam Pasal 16 ayat (1) PP 23 Tahun 2005, disebutkan bahwa dalam hal pengelolaan
kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut:
1. Merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
2. Melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;
3. Menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
4. Melakukan pembayaran;
5. Mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek;
6. Memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan
tambahan.
Dari pasal-pasal tersebut, dapat diterjemahkan bahwa satker BLU dapat menggunakan sisa
pendapatan yang belum dibelanjakan untuk dikelola kembali dengan tujuan meningkatkan
pendapatan satker BLU bersangkutan. Meskipun demikian, harus diperhatikan bahwa dana yang
digunakan dalam rangka pengelolaan kas tersebut merupakan PNBP satker BLU itu sendiri, bukan
pendapatan yang diperoleh dari alokasi Rupiah Murni (RM) dalam DIPA BLU. Apabila terdapat
sisa dana yang berasal dari Rupiah Murni (RM), maka baik sisa dana tersebut maupun bunganya,
jika ada, tetap harus disetor kembali ke Kas Negara.
Secara ringkas, penyelenggaraan pengelolaan kas pada satker BLU terwujud melalui:
1. Penarikan dana yang bersumber dari RM dengan menerbitkan SPM,
sedangkan dana PNBP disahkan melalui penerbitan SPM Pengesahan dan setiap triwulan diajukan
ke serta disahkan oleh KPPN dengan SP2D Pengesahan;
2. Pembukaan rekening BLU dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3. Investasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas (apabila ada surplus)
pada instrumen keuangan dengan resiko rendah.
B. PENGELOLAAN PIUTANG
Sebagai satker pemerintah, pengelolaan piutang BLU mengikuti aturan-aturan yang berlaku pada
satker pemerintah lainnya. Dalam pengelolaan keuangannya, BLU dapat memberikan piutang
terkait dengan kegiatannya, yang dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, transparan dan
bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktik bisnis yang sehat.
Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat berwenang yang nilainya
ditetapkan secara berjenjang.
C. PENGELOLAAN UTANG
Dalam kegiatan operasional dengan pihak lain, BLU dapat memiliki utang yang dikelola secara
tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktik bisnis yang
sehat. Pembayaran utang BLU pada prinsipnya menjadi tanggung jawab BLU.
Pengelolaan utang harus sesuai dengan peruntukannya. Utang jangka pendek ditujukan hanya untuk
belanja operasional, sedangkan utang jangka panjang ditujukan untuk menutupi belanja modal.
Hak tagih atas utang BLU kadaluarsa setelah lima tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali
diterapkan lain oleh peraturan yang ada (Undang-undang).
D. PENGELOLAAN INVESTASI
Kecuali untuk satker BLU Pusat Investasi Pemerintah (PIP), satker BLU tidak dapat melakukan
investasi jangka panjang kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan.
Meskipun demikian, dapat dijelaskan bahwa investasi jangka panjang dimaksud antara lain berupa
penyertaan modal, pemilikan obligasi jangka panjang atau investasi langsung (misal; pendirian
perusahaan). Apabila suatu satker BLU mandirikan atau membeli badan usaha yang berbadan
hokum, maka kepemilikannya berada pada Menteri Keuangan, tetapi keuntungan yang diperoleh
menjadi pendapatan satker BLU dimaksud.
E. PENGELOLAAN BARANG
1. Pengadaan barang
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan
Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum, mengatur secara khusus pengadaan barang dan jasa
satker BLU sebagai berikut:
a. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada satker BLU harus dilakukan
berdasarkan prinsip efisiensi, dan ekonomis, sesuai dengan praktik bisnis yang sehat;
b. BLU Penuh dapat diberikan fleksibilitas berupa pembebasan
sebagian atau seluruhnya dari ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah (Keppres 80/2003)
bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. Fleksibilitas diberikan hanya terhadap pengadaan
barang dan/atau jasa yang dananya bersumber dari:
â¼¢ Jasa layanan kepada masyarakat;
â¼¢ Hibah tidak terikat;
â¼¢ Hasil kerjasama satker BLU dengan pihak lain;
â¼¢ Hasil usaha lainnya.
Pengadaan barang/jasa tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuanyang ditetapkan oleh Pemimpin
BLU dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil/tidak diskriminatif, akuntabilitas, dan
praktik bisnis yang sehat;
c. Untuk pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari
hibah terikat dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan pengadaan dari pemberi hibah, atau
mengikuti ketentuan yang berlaku bagi satker BLU sepanjang disetujui oleh pemberi hibah;
d. Dalam penetapan penyedia barang/jasa, Panitia Pengadaan terlebih
dahulu harus memperoleh persetujuan dari:
â¼¢ Pemimpin BLU untuk pengadaan barang/jasa yang bernilai di
atas Rp 50 miliar; atau
â¼¢ Pejabat lain yang ditunjuk oleh Pemimpin BLU untuk pengadaan
yang bernilai sampai dengan Rp 50 miliar.
e. Penunjukan pejabat lain sebagaimana tersebut di atas, melibatkan semua unsur Pejabat Pengelola
BLU dan harus memperhatikan prinsip-prinsip:
â¼¢ Obyektivitas, yaitu penunjukan yang didasarkan pada aspek
integritas moral, kecakapan pengetahuan mengenai proses dan prosedur pengadaan barang/jasa,
tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan
barang/jasa;
â¼¢ Independensi, yaitu menghindari dan mencegah terjadinya
pertentangan kepentingan dengan pihak terkait dalam melaksanakan penunjukan pejabat lain,
langsung maupun tidak langsung; dan
â¼¢ Saling uji (cross check), yaitu berusaha memperoleh informasi
dari sumber yang berkompeten, dapat dipercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
mendapatkan keyakinan yang memadai dalam melaksanakan penunjukan pejabat lain.
2. Pengelolaan aset satker BLU
a. Barang inventaris satker BLU dapat dihapuskan dan/atau dialihkan
kepada pihak lain dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan, berdasarkan pertimbangan
ekonomis dan dilaporkan secara berkala kepada menteri/pimpinan lembaga;
b. BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap,
kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Penerimaan hasil penjualan barang inventaris/aset tetap merupakan
pendapatan satker BLU;
d. Penggunaan asset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung
dengan tugas pokok dan fungsi satker BLU harus mendapat persetujuan Pejabat Pengelola Barang
(Menteri Keuangan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Tanah dan bangunan disertifikatkan atas nama kementerian/lembaga
terkait;
f. Tanah dan bangunan yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi BLU, dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan lembaga terkait dengan
persetujuan Menteri Keuangan.
F. PENYELESAIAN KERUGIAN
Setiap kerugian negara pada satker BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian, diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penyelesaian kerugian Negara.
Setiap pimpinan kementerian/lembaga dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah
mengetahui bahwa suatu satker BLU yang berada dalam kewenangannya, terjadi kerugian negara
sebagai akibat perbuatan dari pihak manapun.

MPPKB : BAB VII : PELAKSANAAN ANGGARAN

A. PENGELOLAAN PENDAPATAN BLU
Berdasarkan PP 23 Tahun 2005, pendapatan BLU terdiri dari:
1. pendapatan dari APBN,
2. pendapatan dari jasa layanan dan hibah tidak terikat,
3. pendapatan dari hasil kerjasama dengan pihak lain dan/atau hasil usaha
lainnya, dan
4. pendapatan dari hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan
lain yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya.
Pendapatan sebagaimana tercantum pada poin 2, 3, dan 4 dilaporkan sebagai Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) BLU. Pendapatan BLU yang berasal dari hibah terikat yang diperoleh dari
masyarakat atau badan lain yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya.
Tata cara pertanggungjawaban pendapatan BLU yang berasal dari APBN mengikuti ketentuan
sebagaimana diatur dalam Perdirjen Perbendaharaan Nomor 66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sementara itu,
penggunaan dan pertanggungjawaban PNBP BLU berpedoman pada Perdirjen Perbendaharaan
Nomor 50/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan PNBP oleh Satuan Kerja Instansi
Pemerintah yang Menerapkan PK BLU.
1. Penggunaan PNBP pada Satker Berstatus BLU Penuh
Satker berstatus BLU penuh yang diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan, antara lain dapat
langsung menggunakan seluruh PNBP dari pendapatan operasional BLU dan non operasional BLU,
di luar dana yang bersumber dari APBN, sesuai RBA tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Rekening
Kas Negara.
Untuk satker berstatus BLU penuh, berlaku anggaran fleksibel yaitu belanja dapat bertambah atau
berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatannya juga bertambah atau berkurang
setidaknya proporsional.
Contoh:
1. Satker A berstatus BLU Secara Penuh, dalam RBA Tahun 2009 target
PNBP adalah sebesar Rp. 100 miliar dan anggaran belanja yang didanai dari PNBP adalah sebesar
Rp. 100 miliar.
2. Ambang batas belanja (anggaran fleksibel) yang ditetapkan dalam
RBA adalah sebesar 10%, artinya realisasi belanja Satker A yang bersumber dari PNBP dapat
melampaui anggaran belanja dalam RBA sebesar 10%, apabila realisasi PNBP melebihi target yang
ditentukan dalam RBA minimal 10%.
3. Apabila realisasi PNBP Satker A sebesar Rp. 85 miliar, maka PNBP
yang dapat digunakan langsung maksimal sebesar Rp. 85 miliar.
4. Apabila realisasi PNBP Satker A sebesar Rp. 110 miliar maka:
a. PNBP yang dapat digunakan langsung maksimal sebesar Rp. 110
miliar;
b. Pengeluaran belanja tersebut dapat dilaksanakan tanpa melalui
revisi DIPA, hanya RBA definitif.
5. Apabila realisasi PNBP Satker A sebesar Rp. 115 miliar maka:
a. PNBP yang dapat digunakan langsung maksimal sebesar Rp. 110
miliar (Rp. 100 miliar + (10% x Rp. 100 miliar)) melalui revisi RBA definitif.
b. Apabila sisa PNBP sebesar Rp. 5 miliar tersebut akan digunakan
pada tahun anggaran berjalan, maka terlebih dahulu dilakukan revisi RBA definitif dan DIPA BLU.
2. Penggunaan PNBP pada Satker Berstatus BLU Bertahap
Satker berstatus BLU bertahap dapat menggunakan langsung PNBP sebesar persentase penggunaan
dana yang dapat digunakan langsung sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tentang
penetapan satker yang menerapkan PK-BLU bersangkutan dan besaran persentase ijin penggunaan
PNBP yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Satker berstatus BLU bertahap wajib menyetor PNBP yang tidak digunakan langsung ke Rekening
Kas Negara secepatnya sesuai peraturan yang berlaku.
PNBP yang telah disetorkan ke Rekening Kas Negara dapat digunakan kembali sebesar ijin
penggunaan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan.
Contoh:
1. Satker B berstatus BLU Bertahap, target PNBP dalam RBA Tahun 2009
adalah sebesar Rp. 100 miliar.
2. Satker tersebut dapat menggunakan PNBP sebesar 90% dari target
yang ditetapkan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan besaran
penggunaan PNBP (ijin penggunaan).
3. Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Satker B sebagai
BLU Bertahap menyebutkan bahwa Satker B dapat menggunakan PNBP secara langsung sebesar
60%.
4. Apabila satker BLU menerima PNBP sebesar Rp. 10 miliar, maka :
a. PNBP yang dapat digunakan digunakan secara langsung adalah
sebesar Rp. 5,4 miliar (90% x 60% x Rp. 10 miliar);
b. PNBP yang harus disetor secepatnya ke Rekening Kas Negara
adalah sebesar Rp. 4,6 miliar (Rp. 10 miliar â¼³ 5S PLOLDU
c. PNBP yang dapat digunakan dengan mekanisme pencairan PNBP
adalah sebesar Rp. 3,6 miliar (90% x 40% x Rp. 10 miliar).
5. Apabila total kumulatif realisasi PNBP sampai dengan akhir tahun
adalah sebesar Rp. 110 miliar, maka kelebihan target sebesar Rp. 9 miliar (90% x (Rp. 110 miliar
â¼³ 5S PLOLDU DSDELOD LQJLQ GLJXQDNDQ GDODP WDKXQ DQJJDUDQ EHUMDODQ PDND VDWNHU %/8
terlebih dahulu harus merevisi RBA definitif dan DIPA BLU.
3. SPM dan SP2D pengesahan
Dalam rangka mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang bersumber dari PNBP BLU,
satker BLU membuat SPM Pengesahan tiap triwulan dan menyampaikannya ke KPPN terkait. SPM
pengesahan dilampiri dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab (SPTJ) yang ditandatangani oleh
Pimpinan BLU.
SPM Pengesahan disampaikan ke KPPN paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah triwulan
berakhir.
Pertanggungjawaban penggunaan dana PNBP yang tidak digunakan langsung oleh satker BLU
bertahap menggunakan mekanisme pertanggungjawaban PNBP sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005.
B. DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN BADAN LAYANAN UMUM
1. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BLU
Dokumen pelaksanaan anggaran satker BLU yang disebut DIPA BLU disusun berdasarkan RBA
yang telah disetujui (RBA definitif). DIPA BLU disahkan oleh Menteri Keuangan. DIPA BLU
merupakan lampiran dari perjanjian kerja antara pimpinan BLU dengan kementerian. DIPA BLU
menjadi dasar pencairan/penarikan dana dari APBN, pengesahan pendapatan dan belanja yang
bersumber dari PNBP BLU, dan pertanggungjawaban.
DIPA BLU memuat antara lain saldo awal kas, pendapatan, belanja, pembiayaan, saldo akhir kas,
besaran persentase ambang batas, proyeksi arus kas (termasuk rencana penarikan dana yang
bersumber dari APBN), dan jumlah serta kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan,
sebagaimana ditetapkan dalam RBA definitif.
Format DIPA BLU sesuai dengan format yang diatur dalam Perdirjen Perbendaharaan Nomor
57/PB/2008 tentang Format DIPA BLU dan jenis belanja dan akun-akun yang digunakan dalam
DIPA BLU mengacu pada PMK 91/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) dan Perdirjen
Perbendaharaan 08/PB/2009 tentang Penambahan dan Perubahan BAS.
DIPA BLU tidak memuat antara lain:
? Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari APBN (Rupiah Murni) tahun
sebelumnya; dan/atau
? Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari APBN (Rupiah Murni) tahun berjalan
yang telah tercantum dalam DIPA lain.
Konsep DIPA BLU disampaikan oleh menteri/pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan c.q.
Dirjen Perbendaharaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Perbendaharaan/Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengesahkan DIPA BLU
paling lambat tanggal 31 Desember dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA BLU (SP-DIPA
BLU)
C. REVISI DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN
Dasar Hukum revisi DIPA BLU, yaitu:
1. PMK 06/PMK.02/2009 tentang Tata Cara Perubahan Rincian ABPP dan
Perubahan DIPA 2009 untuk sumber dana yang berasal dari RM.
2. PMK 44/PMK.05/2009 tentang Rencana Bisnis Anggaran (RBA) serta
Pelaksanaan Anggaran BLU untuk sumber dana yang berasal dari PNBP BLU.
Ketentuan mengenai revisi DIPA BLU yang bersumber dari PNBP BLU (tanpa perubahan SAPSK)
diuraikan dalam tabel berikut:
Penyesuaian kode akun PNBP menjadi kode akun BLU.
Penyesuaian kode akun PNBP menjadi kode akun BLU dilakukan sejak tanggal cut off menjadi
satker BLU sehingga pada DIPA BLU akan tercantum 2 kode akun, yaitu kode akun PNBP dan
BLU.
Terhadap PNBP yang telah disetor ke kas negara dan sebagian telah digunakan melalui mekanisme
PNBP atau telah diterbitkan SPM/SP2D-nya maka ketentuan revisi adalah:
a. Untuk satker BLU non PTN, pada DIPA revisi akan tercantum:
Akun PNBP : jumlah pagu sebesar jumlah setoran PNBP ke kas negara
Akun BLU : jumlah pagu sebesar jumlah pagu PNBP pada DIPA
sebelum revisi dikurangi jumlah setoran ke kas negara
b. Untuk satker BLU PTN non BHMN pada DIPA revisi akan tercantum:
Akun PNBP : jumlah pagu sebesar jumlah SPM/SP2D yang telah
diterbitkan
Akun BLU : jumlah pagu sebesar jumlah pagu PNBP pada DIPA
sebelum revisi dikurangi realisasi SPM/SP2D. sedangkan sisa setoran pada kas negara yang belum
diterbitkan SPM/SP2D-nya dapat dicairkan mengacu pada Perdirjen Perbendaharaan Nomor
58/PB/2008 tentang Mekanisme Pengembalian Sisa PNBP PTN yang Diterima Sebelum Ditetapkan
Menjadi Satker yang Menerapkan PK BLU.
Ilustrasi penyesuaian kode akun satker biasa menjadi kode akun satker BLU. Terdapat satker BLU
C dengan deskripsi sebagai berikut:
Target PNBP 10 M
PNBP yang sudah disetor 7 M
PNBP yang sudah realisasi (SP2D) 5 M
Sisa PNBP yang belum direalisasikan 2 M
Sisa target PNBP 3 M
Jika satker BLU C tersebut adalah:
1. Satker non PTN
Pada DIPA BLU akan dicatatkan Rp. 7 Milyar memakai akun PNBP dan Rp. 3 Milyar memakai
akun BLU, sedangkan sisa PNBP Rp. 2 Milyar dapat ditarik dengan mekanisme PNBP.
2. Untuk satker PTN non BHMN
Pada DIPA BLU akan dicatatkan Rp. 5 Milyar memakai akun PNBP dan Rp. 5 Milyar memakai
akun BLU.
Sisa PNBP Rp. 2 Milyar dapat dimintakan pengembaliannya. Pengembalian PNBP yang diminta
pada tahun bersangkutan diajukan ke KPPN, apabila pengembalian PNBP diminta pada tahun
berikutnya diajukan ke Direktorat PKN. Pengembalian PNBP yang diterima pada tahun berjalan,
dicatatkan sebagai penerimaan triwulan berkenaan. Pengembalian PNBP yang diterima tahun
berikutnya , dicatatkan sebagai saldo awal DIPA BLU tahun tersebut.

MPPKB : BAB VI : PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Pembahasan tentang perencanaan dan penganggaran diawali dengan proses penyusunan rencana
strategis (renstra) bisnis oleh satker BLU yang berpedoman pada renstra kementerian
negara/lembaga. Renstra bisnis ini digunakan sebagai panduan oleh satker BLU dalam mengelola
kegiatannya selama 5 tahun ke depan. Untuk kebutuhan perencanaan dan penganggaran tahunan,
satker BLU menyusun dokumen yang disebut rencana bisnis dan anggaran atau biasa disebut RBA.
Secara garis besar, RBA memuat kegiatan dan target yang akan dilaksanakan pada tahun tersebut
beserta anggaran yang mengikuti. Pembahasan mengenai renstra bisnis satker BLU dan RBA akan
diuraikan dalam pokok-pokok bahasan dibawah ini.

A. RENCANA STRATEGIS BISNIS
Rencana strategis bisnis, selanjutnya disebut renstra bisnis, lahir dari sebuah proses manajemen
strategis. Manajemen strategis sendiri merupakan seni dan ilmu untuk memformulasi,
mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi
dapat mencapai tujuannya. Tujuan dari manajemen strategis adalah untuk mengeksploitasi dan
menciptakan peluang baru yang berbeda untuk masa mendatang.
Renstra bisnis mengemuka ketika organisasi sadar bahwa tantangan organisasi di masa depan
semakin kompleks dengan berbagai macam permasalahan dan persaingan. Identifikasi terhadap
lingkungan internal dan eksternal mutlak diperlukan guna mengetahui kekuatan, kelemahan,
tantangan serta ancaman organisasi. Elemen-elemen tersebut kemudian dianalisis dan
ditransformasikan ke dalam sebuah tahapan-tahapan strategi untuk mencapai visi dan misi
organisasi.
Satker BLU adalah sebuah organ pemerintah yang bertindak untuk menyediakan layanan dalam
bentuk penyediaan barang dan jasa dimana dalam pengelolaannya lebih menitikberatkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas dengan tidak mengutamakan pencapaian laba (not for profit).
Sebagai sebuah organisasi modern, satker BLU dituntut mampu menyusun dan menguraikan visi
dan misi ke dalam tahapan-tahapan strategis untuk mencapai visi dan misi tersebut. Langkahlangkah
normatif dalam proses perumusan sebuah renstra bisnis juga dilaksanakan oleh satker BLU
untuk memastikan bahwa satker BLU tersebut mengenali dirinya sendiri dan menggunakan
keunggulan kompetitif yang dimiliki sebagai instrumen untuk bersaing dengan organisasi lain yang
memiliki layanan sejenis.
B. RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
1. Konsep, Definisi, dan Dasar-Dasar Penyusunan Rencana Bisnis dan Anggaran
Ketika sebuah renstra bisnis satker BLU telah disusun, langkah lanjutan dari sebuah proses
perencanaan dan penganggaran satker BLU adalah penyusunan rencana bisnis dan anggaran
tahunan, yang biasa disebut RBA. Sebagai representasi dari sebuah renstra bisnis satker BLU, RBA
berfungsi sebagai dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran tahunan satker BLU yang
memuat program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
Berbicara mengenai RBA satker BLU tidak dapat dilepaskan dari kerangka APBN secara
keseluruhan. Target pendapatan dan belanja yang tercantum dalam RBA tetap harus dicatatkan
dalam APBN. Realisasi atas target pendapatan PNBP dan belanja yang bersumber dari PNBP harus
dibukukan dan dipertanggungjawabkan dalam kerangka keuangan negara. Harus disadari oleh
pejabat pengelola dan pegawai satker BLU bahwa satker BLU bukanlah kekayaan negara yang
dipisahkan, sehingga prinsip-prinsip dalam pengelolaan keuangan negara tetap harus dipahami dan
dipedomani oleh satker BLU. Fleksibilitas yang diberikan dalam kerangka memberikan
pengecualian terhadap prinsip universalitas agar satker BLU dapat berkembang dan memberikan
pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Posisi RBA terhadap APBN digambarkan dalam
diagram berikut:
Diagram posisi RBA terhadap APBN
Dalam menyusun RBA, satker BLU harus mempertimbangkan ukuran dan kompleksitas
organisasinya. Satker BLU yang memiliki organisasi yang berukuran kecil dapat melakukan
sentralisasi dalam hal penganggaran. Namun, pada sebuah satker BLU yang besar dan kompleks
perlu melakukan desentralisasi dengan memberikan kewenangan kepada unit-unit kegiatan di
dalamnya untuk mengajukan kebutuhan anggaran yang diperlukan dan membebaninya dengan
target pendapatan. Desentralisasi penyusunan anggaran tersebut tentu saja tetap harus dalam koridor
program, kegiatan, dan kebijakan yang telah dituangkan dalam renstra bisnis. Dalam hal ini, tugas
unit pusat dalam satker BLU menerjemahkan dan mensosialisasikan renstra bisnisnya kepada unitunit
yang ada dan menghimpun rencana dan anggaran yang diajukan oleh masing-masing unit
untuk kemudian ditransformasikan dalam bentuk RBA.
Skema Penyusunan RBA
Dasar-dasar yang digunakan dalam penyusunan RBA diuraikan sebagai berikut:
1). RBA disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya
menurut jenis layanannya.
2). RBA disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang
diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
3). RBA disusun berdasarkan basis akrual.
4). RBA menganut pola anggaran fleksibel (flexibel budget) yang
memberikan keleluasaan penggunaan belanja dalam RBA untuk bertambah atau berkurang secara
proporsional terhadap pendapatan BLU selain yang bersumber dari APBN.
2. Perkiraan Biaya per Output (Kegiatan)
Perkiraan biaya per kegiatan merupakan salah satu komponen yang ada dalam RBA. Identifikasi
atas biaya tersebut memudahkan satker BLU dalam mengetahui harga pokok produksi sebuah
kegiatan, menetapkan tarif yang akan dibebankan ke masyarakat, mengevaluasi efisiensi tarif dan
menetapkan margin jika dimungkinkan. Hasil dari kegiatan (output) yang dijalankan oleh satker
BLU tersebut dapat berupa produk, baik itu barang atau jasa. Berdasarkan konsep akuntansi biaya,
sebuah produk, memiliki komponen-komponen biaya pembentuk yang dapat dibebankan secara
langsung maupun tidak langsung, biaya yang tidak bergantung pada output dan sebaliknya.
Berikut diilustrasikan mekanisme perhitungan biaya per kegiatan, yaitu:
1). Untuk memudahkan menghitung biaya per kegiatan (output), satker
BLU perlu mengidentifikasi dan mengelompokkan unit-unit kerja yang menjadi revenue center dan
cost center. Di dalam revenue center unit terdapat kegiatan-kegiatan yang menghasilkan
pendapatan, sementara kegiatan-kegiatan yang hanya menimbulkan biaya dikelompokkan di cost
center unit.
2). Untuk satu jenis kegiatan, tentukan jenis biaya dan besaran biaya per
unit kegiatan. Jenis biaya dapat berupa: biaya langsung variabel, biaya langsung tetap, biaya tidak
langsung variabel, dan biaya tidak langsung tetap.
3). Hitung biaya per jenis kegiatan dengan mengalikan rincian biaya
dengan satuan biaya. Dalam penentuan satuan biaya agar mengacu kepada Standar Biaya Umum;
atau Standar Biaya Khusus yang ditetapkan Menteri Keuangan; atau harga pasar.
4). Jumlahkan seluruh komponen biaya untuk mendapatkan biaya satuan
per kegiatan. Biaya satuan per kegiatan merupakan biaya pokok produksi suatu kegiatan.
5). Apabila kegiatan tersebut termasuk dalam kelompok revenue center
unit dan akan ditentukan besaran tarifnya maka jumlahkan biaya satuan per kegiatan dan margin
yang diinginkan. Penentuan margin ini untuk menjaga kontinuitas dan pengembangan layanan.
C. PENGINTEGRASIAN RBA KE DALAM RKA-KL
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa RBA tidak dapat dipisahkan dari APBN. RBA
adalah bagian integral dari APBN sehingga program, kegiatan, dan rencana keuangan dalam bentuk
target pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang dimuat dalam RBA harus dicatat dan diketahui
oleh publik melalui media APBN. Namun, adanya perbedaan dalam basis penyusunan serta definisi
program, kegiatan yang ada di dalam RBA berimbas pada perlunya sebuah jembatan yang disebut
ikhtisar RBA yang berfungsi untuk menghubungkan RBA dengan RKA-KL. (Format ikhtisar RBA
terlampir).
Untuk mengintegrasikan RBA kedalam RKA-KL, terdapat prosedur yang harus dilalui oleh satker
BLU. Prosedur integrasi RBA dalam RKA-KL digambarkan sebagai berikut:
1). Satker BLU mencantumkan penerimaan dan pengeluaran yang tercantum
dalam RBA BLU ke dalam pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam ikhtisar RBA termasuk
belanja dan pengeluaran pembiayaan yang didanai dari saldo awal kas.
2). Pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang dicantumkan dalam ikhtisar RBA
dihitung berdasarkan basis kas.
3). Pendapatan BLU yang dicantumkan dalam ikhtisar RBA mencakup hibah dan
semua PNBP yang diterima oleh BLU, yaitu pendapatan dari layanan, hasil kerja sama, dan usaha
lainnya.
4). Belanja BLU yang dicantumkan ke dalam ikhtisar RBA mencakup semua
belanja BLU, termasuk belanja yang didanai dari APBN (Rupiah Murni), belanja yang didanai dari
PNBP, hibah BLU, penerimaan pembiayaan, dan belanja yang didanai dari saldo awal kas. Belanja
BLU tersebut dicantumkan dalam ikhtisar RBA dalam 3 jenis belanja, yaitu belanja pegawai,
belanja barang, dan belanja modal.
5). Pengeluaran pembiayaan BLU yang dicantumkan dalam ikhtisar RBA adalah
pengeluaran pembiayaan yang didanai dari APBN (Rupiah Murni) tahun berjalan dan PNBP BLU.
6). Pengeluaran pembiayaan BLU yang didanai dari APBN (Rupiah Murni) tahun
berjalan yang telah tercantum dalam DIPA selain DIPA BLU atau APBN (Rupiah Murni) tahun
lalu dan telah dipertanggungjawabkan dalam pertanggungjawaban APBN sebelumnya, tidak
dicantumkan dalam ikhtisar BLU.
Pernyataan bahwa RBA merupakan bagian dari APBN membawa implikasi bahwa penyusunan dan
pengajuan RBA harus mengikuti siklus APBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Integrasi RBA dalam siklus APBN diilustrasikan sebagai berikut:
Penjelasan:
1). Bulan Maret K/L menyusun rencana kerja K/L untuk tahun anggaran yang
akan datang dengan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif yang
ditetapkan dalam SEB Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan. Selanjutnya ditelaah oleh
Kementerian Perencanaan ber-koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Rencana kerja K/L yang
disusun tersebut juga memuat rencana kerja satker BLU. Rencana kerja satker BLU dituangkan
dalam RBA. RBA tersebut disampaikan kepada K/L sebagai bagian dari RKA-KL. Pada tahap ini,
satker BLU dapat menyesuaikan target pendapatan PNBP yang dicantumkan dalam pagu indikatif
berdasarkan potensi pendapatan PNBP yang dimilikinya.
2). Pertengahan bulan Juni, berdasar SE pagu sementara K/L menyesuaikan
Renja K/L menjadi RKA-KL, selanjutnya dibahas bersama dengan DPR.
3). Pertengahan bulan Juli, Bappenas menelaah kesesuaian antara RKA-KL
dengan RKP. Departemen Keuangan (DJA) menelaah kesesuaian antara RKA-KL dengan pagu
sementara, perkiraan maju dan standar biaya.
4). Pertengahan bulan Agustus, dilakukan pembahasan himpunan RKA-KL
bersama â¼³ VDPD QRWD NHXDQJDQ GDQ 588 $3%1 ROHK '35
5). Akhir bulan Oktober Penetapan UU APBN.
6). Akhir bulan Nopember, penetapan Keppres tentang Rincian APBN yang
menjadi dasar bagi K/L untuk menyusun dokumen pelaksanaan anggaran.
7). Berdasarkan Keppres tentang rincian APBN tersebut, satker BLU
menyesuaikan RBA awal dan ikhtisar RBA Awal menjadi RBA definitif dan ikhtisar RBA definitif.
Atas dasar RBA definitif dan ikhtisar RBA definitif tersebut, satker BLU membuat DIPA BLU.

MPPKB : BAB V : STANDAR DAN TARIF LAYANAN

A. STANDAR LAYANAN

Standar layanan BLU berupa Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang merupakan ukuran
pelayanan yang harus dipenuhi oleh Satker yang menerapkan PK BLU yang ditetapkan oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pelayanan kepada masyarakat
yang harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan serta
kemudahan memperoleh layanan. Kualitas layanan yang dimaksud meliputi teknis layanan, proses
layanan, tata cara, dan waktu tunggu untuk mendapatkan layanan.
SPM bertujuan untuk memberikan batasan layanan minimum yang seharusnya dipenuhi oleh
pemerintah. Agar fungsi standar pelayanan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka standar
layanan BLU semestinya memenuhi persyaratan SMART, yaitu:
1) Fokus pada jenis layanan (specific);
2) Dapat diukur (measurable);
3) Dapat dicapai (attainable);
4) Relevan dan dapat diandalkan (reliable); dan
5) Tepat waktu (timely).
BLU wajib menggunakan SPM yang telah ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. SPM dapat
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan BLU serta
kemampuan kelembagaan dan personil BLU dalam bidang yang bersangkutan.
SPM yang telah ditetapkan harus mencantumkan rencana pencapaian SPM yang memuat target
tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan
Peraturan Menteri/Lembaga teknis. Dan untuk mewujudkan transparansi, rencana pencapaian target
tahunan SPM tersebut dan realisasi capaiannya agar diinformasikan kepada masyarakat.

B. TARIF LAYANAN
Sesuai dengan tujuan diterapkannya PK BLU yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, maka dalam menetapkan tarif layanan tetap memperhatikan SPM yang telah ditetapkan
Menteri/Pimpinan Lembaga. Selanjutnya, karena BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat
sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan, maka diperlukan bentuk tarif yang
ditetapkan berdasarkan perhitungan biaya per unit layanan (untuk layanan yang berupa penjualan
barang dan/atau jasa) atau hasil per investasi dana (untuk layanan perguliran dana).
Dalam penyusunan tarif dapat digunakan kebijakan cost plus (memasukan imbal hasil atau margin),
cost recovery (menutup seluruh biaya yang dikeluarkan), cost minus ( menutup sebagian biaya yang
dikeluarkan).
Usulan tarif layanan diajukan oleh BLU bersangkutan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, untuk
kemudian Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan tarif tersebut kepada Menteri Keuangan
untuk ditetapkan. Dalam penetapan tarif dimaksud, Menteri Keuangan dibantu oleh suatu tim dan
dapat menggunakan nara sumber yang berasal dari sektor terkait.
Hal-hal yang wajib dipertimbangkan dalam menyusun tarif layanan adalah sebagai berikut:
1. Kontinuitas dan pengembangan layanan;
2. Daya beli masyarakat;
3. Asas keadilan dan kepatutan;
4. Kompetisi yang sehat.

C. PERHITUNGAN TARIF LAYANAN
Dalam penyusunan tarif dan biaya layanan, terlebih dahulu ditentukan biaya satuan per unit output
dari layanan atau kegiatan BLU. Biaya satuan dibuat berdasarkan perhitungan akuntansi biaya
untuk setiap output barang/jasa yang dihasilkan. Dalam rangka penyusunan biaya satuan per unit
layanan, maka perlu diperhitungkan biaya-biaya yang timbul, yaitu:
1. Biaya langsung; adalah biaya-biaya yang secara khusus dapat ditelusuri
atau diidentifikasi sebagai komponen langsung dari biaya produk. Total biaya langsung ini dalam
beberapa literatur juga sering disebut dengan istilah biaya utama (prime cost).
2. Biaya tidak langsung adalah semua biaya yang tidak dapat diidentifikasi
secara khusus terhadap suatu produk dan dibebankan kepada seluruh jenis produk secara
bersamaan. Biaya tidak langsung ini sering disebut juga dengan istilah biaya overhead (overhead
cost).
Dalam penghitungan biaya langsung dan tidak langsung ini terdiri dari:
1. Biaya variabel adalah biaya yang berubah secara total seiring dengan
berubahnya volume produk yang dibuat. Sehingga hubungan antara total biaya variabel dengan
total unit barang yang diperoduksi adalah linier (garis lurus). Sedangkan biaya per unit-nya adalah
tetap. Contoh: Biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung.
2. Biaya tetap (fixed cost), seperti biaya penyusutan dan biaya sewa akan
selalu tetap (constant) dalam suatu rentang waktu/periode tertentu. Perlu dicatat bahwa biaya tetap
akan selalu konstan pada semua tingkat produksi (volume), sedangkan biaya tetap per unit akan
menurun seiring dengan meningkatnya volume produksi.
Tarif layanan merupakan unsur yang harus tercantum dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA).
Penentuan tarif dilakukan dengan memperhitungkan biaya satuan dari setiap jenis layanan.
Perhitungan tarif layanan akan diuraikan lebih lanjut dalam bab selanjutnya mengenai RBA.

MPPKB : BAB IV : TATA KELOLA

A. KELEMBAGAAN

Pengelolaan Keuangan BLU dapat diterapkan oleh setiap instansi pemerintah yang secara
fungsional menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional. Instansi dimaksud dapat berasal
dari dan berkedudukan pada berbagai jenjang eselon atau non eselon pada kementerian/lembaga.
Sehubungan dengan itu, apabila instansi pemerintah yang menerapkan PK BLU memerlukan
perubahan organisasi dan struktur kelembagaan, maka perubahan tersebut berpedoman pada
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Perubahan tersebut
bertujuan untuk mewujudkan desain organisasi instansi pemerintah yang menerapkan PK BLU
yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal.
Desain organisasi harus memperhatikan keserasian antara besaran organisasi dengan beban tugas,
kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Dalam rangka menjamin kejelasan mekanisme kerja
dan akuntabilitas organisasi, maka desain organisasi organisasi instansi pemerintah yang
menerapkan PK BLU harus menggambarkan secara jelas pembaganan mengenai kedudukan,
susunan jabatan, dan hubungan kerja antar unit organisasi.

B. DEWAN PENGAWAS

Dewan Pengawas adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
BLU. Dewan Pengawas untuk BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan
Menteri/Pimpinan Lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. Pembentukan Dewan Pengawas
berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi
anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
Anggota dewan pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat dari kementerian negara/lembaga teknis
yang bersangkutan, kementerian keuangan, dan tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLU.
Pembahasan Dewan Pengawas lebih rinci, akan dibahas dalam Bab Pembinaan, Pengawasan, dan
Pemeriksaan BLU.

C. PEJABAT PENGELOLA

BLU dikelola oleh Pejabat Pengelola BLU yang terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan, dan
pejabat teknis. Sebutan tersebut dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada instansi
pemerintah yang bersangkutan.
1. Pemimpin BLU
Pemimpin berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang
berkewajiban:
a. menyiapkan rencana strategis bisnis BLU;
b. menyiapkan RBA tahunan;
c. mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan
BLU.
2. Pejabat Keuangan BLU
Pejabat keuangan BLU berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban :
a. mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;
c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d. menyelenggarakan pengelolaan kas;
e. melakukan pengelolaan utang-piutang;
f. menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi BLU;
g. menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan
h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
3. Pejabat Teknis BLU
Pejabat teknis BLU berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang
berkewajiban:
a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan
c. mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya.
Pejabat pengelola BLU dapat terdiri dari PNS dan/atau tenaga profesional non PNS, akan tetapi
seyogyanya untuk Pemimpin BLU dan Pejabat Keuangan dari PNS . Hal ini dengan pertimbangan
bahwa Pemimpin BLU sebagai penanggung jawab keuangan, sedangkan pejabat keuangan
melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja. Sedangkan pejabat pengelola anggaran yaitu
Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran harus dijabat oleh PNS.

D. KEPEGAWAIAN

Pejabat pengelola dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan/atau tenaga
profesional non PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. Pengisian pegawai negeri sipil tersebut sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, beserta peraturan pelaksanaannya.
Sedangkan pengisian tenaga profesional bukan pegawai negeri sipil tersebut ditetapkan berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, beserta peraturan pelaksanaannya.

E. SATUAN PEMERIKSAAN INTERN

Satuan Pemeriksaan Intern merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung dibawah pemimpin
BLU yang bertugas melaksanakan pemeriksaan intern BLU. Pembahasan Satuan Pemeriksaan
Intern lebih rinci, akan dibahas dalam Bab Pembinaan, Pengawasan, dan Pemeriksaan BLU.

F. TATA HUBUNGAN KERJA

1. Dalam rangka menciptakan hubungan kerja yang harmonis,
Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun mekanisme kerja yang baku, terutama dalam kaitan
hubungan dengan Satker PPK BLU dengan Dewan Pengawas dan unit induknya, dan antara Satuan
Pemeriksaan Intern Satker PPK BLU dengan Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Pemeriksaan Intern berkoordinasi
dengan satuan pengawasan fungsional.
3. Satker PPK BLU menyusun rencana kerja dan anggaran serta laporan
keuangan dan kinerja kepada organisasi induk untuk disajikan sebagai bagian tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran dan laporan keuangan dan kinerja Kementerian/Lembaga.
4. Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan standar pelayanan minimum dan
masing-masing Satker PPK BLU wajib menggunakan standar pelayanan minimum tersebut sesuai
dengan bidang tugasnya.
5. Untuk mengembangkan praktik bisnis yang sehat dalam penyelenggaraan
layanan umum, unit organisasi induk memberikan pembinaan teknis dan tidak membatasi atau
mengganggu pelaksanaan otonomi manajemen operasional Satker PPK BLU.

G. REMUNERASI

Remunerasi merupakan imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif,
bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun. Remunerasi diberikan kepada Pejabat Pengelola,
Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU berdasarkan tingkat tanggungjawab dan tuntutan
profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi dapat juga diberikan kepada Sekretaris Dewan
Pengawas.
Penentuan besaran gaji Pemimpin BLU ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sebagai berikut :
1. Proporsionalitas, yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset
yang dikelola BLU serta tingkat pelayanan;
2. Kesetaraan, yaitu dengan memperhatikan industri pelayanan sejenis;
3. Kepatutan, yaitu menyesuaikan kemampuan pendapatan BLU yang
bersangkutan;
4. Kinerja operasional BLU yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga
sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat bagi
masyarakat.
Perhitungan besaran gaji Pejabat Keuangan dan Pejabat Teknis ditetapkan sebesar 90% (sembilan
puluh persen) dari gaji Pemimpin BLU. Sedangkan perhitungan honorarium Dewan Pengawas
ditetapkan sebagai berikut :
1. Honorarium Ketua Dewan Pengawas sebesar 40 % (empat puluh persen)
dari gaji Pemimpin BLU.
2. Honorarium anggota Dewan Pengawas sebesar 36 % (tiga puluh enam
persen) dari gaji Pemimpin BLU.
3. Honorarium Sekretaris Dewan Pengawas sebesar 15 % (lima belas persen)
dari gaji Pemimpin BLU.
Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas dan Sekretaris Dewan Pengawas yang diberhentikan
sementara dari jabatannya memperoleh penghasilan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
gaji/honorarium bulan terakhir yang berlaku sejak tanggal diberhentikan sampai dengan
ditetapkannya keputusan difinitif tentang jabatan yang bersangkutan.
Disamping pemberian gaji/honorarium, Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan
Pengawas, dan Pegawai BLU dapat memperoleh tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi,
pesangon dan/atau pensiun dengan memperhatikan kemampuan pendapatan BLU yang
bersangkutan.
Apabila Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Sekretaris Dewan Pengawas telah berakhir masa
jabatannya, dapat diberikan pesangon berupa santunan purna jabatan dengan pengikutsertaan dalam
program asuransi atau tabungan pensiun yang beban premi/iuran tahunannya ditanggung oleh BLU
yang besarannya ditetapkan paling banyak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
gaji/honorarium dalam satu tahun.
Besaran remunerasi untuk Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan
Pegawai BLU pada masing-masing BLU ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan usulan
Menteri/Pimpinan Lembaga.

MPPKB : BAB III : PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN

A. PERSYARATAN MENJADI BLU

Satuan kerja instansi pemerintah dapat menerapkan Pengelolaan Keuangan BLU apabila memenuhi
persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
1. Persyaratan Substantif
Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah bersangkutan :
a. Menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan :
1) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum.
Contoh instansi yang menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum adalah
pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah, penyelenggaraan pendidikan,
serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian;
2) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan
perekonomian masyarakat atau layanan umum.
Contoh instansi yang melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah atau kawasan secara otonom
adalah otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet); dan/atau
3) Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi
dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Contoh instansi yang melaksanakan pengelolaan dana adalah pengelola dana bergulir untuk usaha
kecil dan menengah, pengelola penerusan pinjaman, dan pengelola tabungan perumahan.
b. Bidang layanan umum tersebut merupakan kegiatan pemerintah yang
bersifat operasional, dalam menyelenggarakan pelayanan umum satker tersebut menghasilkan
barang/jasa semi publik (quasi public goods). Pengertian barang/jasa semi publik (quasi public
goods) adalah barang/jasa yang seharusnya disediakan oleh pemerintah, tetapi juga dapat
disediakan oleh swasta (private).
2. Persyaratan Teknis
Persyaratan teknis instansi pemerintah bersangkutan terpenuhi apabila :
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
b. Kinerja keuangan satuan kerja yang bersangkutan sehat sebagaimana
ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
Kinerja keuangan yang ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan, mengacu pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah. Kinerja keuangan berupa keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang
dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN.
Kinerja keuangan instansi pemerintah berupa prestasi yang berhasil dicapai oleh Pengguna
Anggaran sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan. Informasi tentang kinerja ini relevan
dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan
mengidentifikasikan secara jelas keluaran (outputs) dari setiap kegiatan dan hasil (outcomes) dari
setiap program. Sehingga kinerja keuangan yang sehat adalah apabila keluaran dari masing-masing
kegiatan dan hasil yang dicapai telah sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan
anggaran.
3. Persyaratan Administratif
Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat
menyajikan seluruh dokumen berikut :
a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan,
dan manfaat bagi masyarakat.
Pernyataan kesanggupan tersebut disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam lampiran
PMK No. 119/PMK.05/2007 dan bermaterai, ditandatangani oleh Pimpinan Satuan Kerja Instansi
Pemerintah yang mengajukan usulan untuk menerapkan PK BLU dan disetujui oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
b. Pola Tata Kelola (corporate governance).
Merupakan peraturan internal Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang
menetapkan :
1) organisasi dan tata laksana, mencakup:
i. struktur organisasi yang menggambarkan posisi jabatan yang ada pada
satker yang menerapkan PK BLU dan hubungan wewenang/tanggung jawab antar jabatan dalam
pelaksanaan tugasnya;
ii. prosedur kerja yang menggambarkan wewenang /tanggung jawab
masing-masing jabatan dan prosedur yang dilakukan dalam pelaksanaan tugasnya. Satker yang
mengusulkan menerapkan PK BLU harus mempunyai prosedur kerja untuk semua kegiatannya,
terutama untuk kegiatan utama (core business);
iii. pengelompokan fungsi yang logis, bahwa pengelompokan fungsifungsi
dalam struktur organisasi harus dilakukan secara logis dan sesuai dengan prinsip
pengendalian intern;
iv. ketersediaan dan pengembangan sumber daya manusia. Satker yang
menerapkan PK BLU harus mempunyai sumber daya manusia yang memadai untuk dapat
menjalankan kegiatan dalam rangka mencapai tujuannya. Ketersediaan SDM mencakup kuantitas
SDM, standar kompetensi, pola rekruitmen, dan rencana pengembangan SDM.
2) akuntabilitas, terdiri dari akuntabilitas program, kegiatan, dan keuangan.
i. akuntabilitas program, adalah perwujudan kewajiban satker yang
menerapkan PK BLU untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan
pelaksanaan program yang diukur dengan seperangkat indikator kinerja non-keuangan (outcome
performance indicator), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam Akuntabilitas program ini
terkandung antara lain kebijakan-kebijakan, mekanisme/prosedur, media pertanggungjawaban, dan
periodisasi pertanggungjawaban program.
ii. akuntabilitas kegiatan, adalah perwujudan kewajiban satker yang
menerapkan PK BLU untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan
pelaksanaan kegiatan yang diukur dengan seperangkat indikator kinerja non-keuangan (outcome
performance indicator), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam akuntabilitas kegiatan ini
terkandung antara lain kebijakan-kebijakan, mekanisme/prosedur, media pertanggungjawaban, dan
periodisasi pertanggungjawaban kegiatan.
iii. akuntabilitas keuangan, terkait dengan pertanggungjawaban
pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang diamanatkan kepada satker yang
menerapkan PK BLU dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada umumnya, akuntabilitas
keuangan tertuang dalam laporan keuangan yang memberikan informasi atas sumber dana dan
penggunaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, standar akuntansi keuangan yang
diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia atau standar akuntansi lain untuk bidang bisnis
spesifik yang mempunyai karakteristik sama dengan PK BLU dan praktik bisnis yang sehat. Dalam
akuntabilitas keuangan ini terkandung antara lain kebijakan-kebijakan, mekanisme/prosedur, media
pertanggungjawaban, dan periodisasi pertanggungjawaban keuangan.
3) transparansi, yaitu adanya kejelasan tugas dan kewenangan, dan
ketersediaan informasi kepada publik.
i. Kejelasan tugas dan kewenangan. Satker yang menerapkan PK BLU
wajib memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan dari masing-masing
pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai sehingga pelaksanaan tugas dan kewenangan
tersebut dapat dimonitor oleh publik.
ii. Ketersediaan informasi kepada publik. Satker yang menerapkan PK
BLU wajib mengungkapkan semua informasi yang dapat mempengaruhi keputusan
stakeholder/publik. Informasi tersebut harus tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat dengan
relatif mudah.
c. Rencana strategis bisnis, mencakup antara lain visi, misi, program
strategis, dan pengukuran pencapaian kinerja.
1) visi, yaitu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan
yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan;
2) misi, yaitu sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi
yang ditetapkan, agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik;
3) program strategis, yaitu program yang berisi kegiatan yang
berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima)
tahun dengan memperhitungkan potensi, kelemahan, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin
timbul (analisis SWOT). Program 5 (lima) tahunan memuat semua program satker yang
menerapkan PK BLU yang meliputi antara lain program di bidang pelayanan, keuangan,
administrasi, dan sumber dayan manusia;
4) kesesuaian visi, misi, program, kegiatan, dan pengukuran
pencapaian kinerja;
5) indikator kinerja lima tahunan berupa indikator pelayanan,
keuangan, administrasi, dan SDM;
6) pengukuran pencapaian kinerja, yaitu pengukuran yang memberikan
gambaran capaian kinerja tahun berjalan, penjelasan, dan analisis faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi pencapaian kinerja. Pengukuran pencapaian kinerja juga memberikan informasi
metode pengukuran kinerja yang bersangkutan.
Rencana strategis bisnis satker yang diusulkan harus menunjukkan peningkatan kinerja pelayanan
dan keuangan sesudah satker tersebut berstatus BLU.
d. Laporan keuangan pokok, adalah laporan keuangan yang berlaku bagi
instansi tersebut yang meluputi:
1) Kelengkapan laporan :
i. Laporan Realisasi Anggaran/Laporan Operasional Keuangan,
yaitu laporan yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang
dikelola, serta menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam suatu periode
pelaporan yang terdiri dari unsur pendapatan dan belanja;
ii. Neraca/Prognosa Neraca, yaitu dokumen yang menggambarkan
posisi keuangan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu;
iii. Laporan Arus Kas, yaitu dokumen yang menyajikan informasi
kas sehubungan dengan aktivitas operasional, investasi, dan pendanaan selama satu periode
akuntansi;
iv. Catatan atas Laporan Keuangan, yaitu dokumen yang berisi
penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran,
Neraca/Prognosa Neraca, dan Laporan Arus Kas, disertai laporan mengenai kinerja keuangan.
2) Kesesuaian dengan standar akuntansi (standar akuntansi pemerintah,
standar akuntansi keuangan, atau standar akuntansi lain);
3) Hubungan antar laporan keuangan, bahwa unsur-unsur dalam laporan
keuangan harus dapat diverifikasi antarlaporan;
4) Kesesuaian antara kinerja keuangan dengan indikator kinerja
yang ada di rencana strategis. Rencana strategis harus dapat diterjemahkan dalam rencana kerja dan
proyeksi laporan keuangan satker yang menerapkan PK BLU, sehingga indikator kinerja yang ada
di rencana strategis harus selaras dengan indikator keuangan dalam laporan keuangan;
5) Analisis laporan keuangan, yaitu berupa analisis trend, analisis
persentaseper komponen, analisis rasio, dan analisis sumber penggunaan dana. Penggunaan metode
analisis disesuaikan dengan kebutuhan satker yang bersangkutan dengan mempertimbangkan
karakteristik satker. Metode analisis tersebut digunakan untuk menguraikan lebih lanjut tentang
informasi keuangan satker sehingga pengguna laporan keuangan mempunyai informasi tambahan
mengenai trend posisi keuangan, trend pendapatan dan biaya, trend arus kas, potensi kemampuan
pelayanan publik dan pemenuhan kewajiban dengan sumber daya yang ada di masa yang akan
datang, serta kotribusi satker yang menerapkan PK BLU terhadap kesejahteraan masyarakat di masa
sekarang dan di masa depan.
e. Standar Pelayanan Minimum (SPM), menggambarkan ukuran pelayanan yang
harus dipenuhi oleh satuan kerja instansi pemerintah yang akan menerapkan PK BLU dengan
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan biaya serta kemudahan
memperoleh layanan. SPM tersebut harus ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. SPM
tersebut diperuntukkan khusus untuk satker yang akan menerapkan PK BLU yang berpedoman
kepada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimum dan/atau SPM Kementerian/Lembaga.
Standar Pelayanan Minimum sekurang-kurangnya mengandung unsur:
1) Jenis kegiatan atau pelayanan yang diberikan oleh satker
Jenis kegiatan merupakan pelayanan yang diberikan oleh satker baik pelayanan ke dalam (satker itu
sendiri) maupun pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Jenis kegiatan ini merupakan tugas
dan fungsi dari satker yang bersangkutan.
2) Rencana Pencapaian SPM
Satuan kerja menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM
dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan peraturan yang ada.
3) Indikator pelayanan
SPM menetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM.
4) Adanya tanda tangan pimpinan satuan kerja yang bersangkutan dan
menteri/pimpinan lembaga.
f. Laporan audit terakhir, merupakan laporan auditor tahun terakhir
sebelum satuan kerja instansi pemerintah yang bersangkutan diusulkan untuk menerapkan PK BLU.
Dalam hal satuan kerja instansi pemerintah tersebut belum pernah diaudit, satuan kerja instansi
pemerintah dimaksud harus membuat pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen yang
disusun dengan mengacu pada formulir yang telah ditetapkan.
B. PENETAPAN BLU
Menteri/pimpinan lembaga mengusulkan instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan
substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PK BLU kepada Menteri Keuangan. Menteri
Keuangan melakukan penilaian atas usulan tersebut dan apabila telah memenuhi semua persyaratan
di atas, maka Menteri Keuangan menetapkan instansi pemerintah bersangkutan untuk menerapkan
PK BLU berupa pemberian status BLU secara penuh atau bertahap.
Dalam rangka penilaian usulan PK BLU, Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya
menunjuk suatu Tim Penilai. Tugas tim penilai tersebut meliputi:
1. Merumuskan kriteria yang digunakan sebagai pedoman penilaian atas
usulan penerapan PK BLU untuk menciptakan standardisasi penilaian, dan menjaga obyektivitas
dan kualitas penilaian;
2. Melakukan identifikasi dan klarifikasi terhadap usulan penerapan PK BLU;
3. Melakukan penilaian atas usulan penerapan PK BLU yang diusulkan
Menteri/Pimpinan Lembaga; dan
4. Menyampaikan rekomendasi hasil penilaian kepada Menteri Keuangan.
Menteri Keuangan memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan
BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak dokumen persyaratan diterima secara lengkap dari
Menteri/Pimpinan Lembaga. Penetapan BLU dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau
status BLU Bertahap.
1. Status BLU Secara Penuh
Status BLU secara penuh diberikan apabila persyaratan substantif, teknis dan administratif telah
dipenuhi dengan memuaskan. Satker yang berstatus BLU secara penuh diberikan fleksibilitas
pengelolaan keuangan, yaitu:
a. Pengelolaan Pendapatan
b. Pengelolaan Belanja
c. Pengadaan Barang/Jasa
d. Pengelolaan Barang
e. Pengelolaan Kas
f. Pengelolaan Utang dan Piutang
g. Pengelolaan Investasi
h. Perumusan Standar, Kebijakan, Sistem, dan Prosedur Pengelolaan
Keuangan.
2. Status BLU Bertahap
Status BLU Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif, teknis, dan administratif telah
terpenuhi, namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan. Status BLU
Bertahap berlaku paling lama 3 (tiga) tahun dan apabila seluruh persyaratan terpenuhi secara
memuaskan dapat diusulkan untuk menjadi BLU Secara Penuh.
BLU Bertahap diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan:
a. Jumlah dana yang dapat dikelola langsung dari pendapatan yang
diperoleh di luar APBN (Rupiah Murni). Penggunaan langsung pendapatan dibatasi jumlahnya,
sisanya harus disetorkan ke kas negara sesuai prosedur PNBP.
b. Pengelolaan barang;
c. Pengelolaan piutang; dan
d. Perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan
keuangan.
Fleksibilitas tidak diberikan dalam:
a. Pengelolaan investasi;
b. Pengelolaan utang; dan
c. Pengadaan barang dan jasa.
Batas-batas yang diberikan dan tidak diberikan tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
C. PENCABUTAN STATUS BLU
Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan BLU berakhir apabila:
1. Dicabut oleh Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya apabila BLU
yang bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif;
2. Dicabut oleh Menteri Keuangan berdasarkan usul dari Menteri/Pimpinan
Lembaga sesuai dengan kewenangannya apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak memenuhi
persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif; atau
3. Berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang
dipisahkan. Pencabutan ini dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundangundangan.
Apabila Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan pencabutan BLU, Menteri Keuangan
membuat penetapan pencabutan penerapan PK BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
usulan tersebut diterima. Jika melebihi jangka waktu tersebut, usulan pencabutan dianggap ditolak.
Terhadap instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PK BLU dapat diusulkan kembali
untuk menerapkan PK BLU

MPPKB : BAB II : PENGERTIAN, TUJUAN, DAN ASAS

A. PENGERTIAN
Definisi Badan Layanan Umum (BLU) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
d i d a s a r k a n p a da p r i n s i p e f i s i e n s i d a n p r o d u k t i v i t a s .
Dalam mengelola keuangannya, BLU menerapkan pola keuangan yang memberikan fleksibilitas
berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada
umumnya. Pola pengelolaan keuangan ini disebut Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum.
Pengelolaan Keuangan BLU diterapkan oleh setiap instansi pemerintah yang secara fungsional
menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional. Instansi dimaksud dapat berasal dari dan
berkedudukan pada berbagai jenjang eselon atau non eselon. Penetapan sebagai BLU adalah terkait
pola pengelolaan keuangannya, bukan dalam kelembagaannya. Sehingga pengertian â¼oeinstansi di
lingkungan pemerintah yang dibentukâ¼ SDGD GHILQLVL WHUVHEXW GLDWDV WLGDN EHUDUWL VXDWX
pemerintah yang akan menerapkan pengelolaan keuangan BLU harus membentuk satker yang baru.
Dalam hal instansi pemerintah tersebut perlu mengubah status kelembagaannya untuk menerapkan
pengelolaan keuangan BLU, baru dilakukan perubahan status kelembagaan dengan berpedoman
pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
B. TUJUAN DAN ASAS
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis
y a n g s e h a t .
Sedangkan asas-asas BLU adalah sebagai berikut:
1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga untuk tujuan pemberian
layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh
instansi induk yang bersangkutan;
2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga dan
karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah sebagai instansi induk.
3. Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan
pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang
dihasilkan.
4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga.
5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
6. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan
keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga.
7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

MPPKB : BAB I : PENDAHULUAN

BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan di
bidang keuangan negara. Salah satu dari reformasi yang menonjol adalah pergeseran dari
penganggaran tradisional yang sekedar membiayai masukan (input) atau proses ke penganggaran
berbasis kinerja yang memperhatikan apa yang akan dihasilkan (output).
Orientasi pada outputs telah dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara.
Mewirausahakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah
yang tepat bagi sektor keuangan publik untuk mendorong peningkatan pelayanan. Ketentuan
tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
K e u a n g a n N e g a r a .
Koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah dituangkan dalam UU Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang
tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada
masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan mengutamakan
produktivitas, efisiensi, dan efektivitas dengan sebutan Badan Layanan Umum (BLU). Pengaturan
lebih lanjut tentang pengelolaan keuangan BLU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam pengelolaan anggaran, tetapi diharapkan
untuk menyuburkan pewadahan baru bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi
m e n i n g k a t k a n p e l a y a n a n p e m e r i n t a h k e p a d a m a s y a r a k a t .
Sebagai suatu format baru, pemahaman tentang BLU belum dipahami sebagian besar kalangan.
Adanya suatu panduan untuk memahami BLU dirasa perlu untuk disusun. Departemen Keuangan
dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan berupaya memberikan panduan tersebut melalui
penyusunan modul terkait dengan pengelolaan keuangan BLU.

B. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dari modul Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) adalah
memberikan pedoman bagi instansi pemerintah, masyarakat, dan stakeholders lainnya untuk dapat
memahami dan/atau menerapkan PK BLU sebagai suatu pola manajemen keuangan sektor publik
dalam rangka peningkatan pelayanan.

C. RUANG LINGKUP

Dalam rangka meningkatkan kualitas penatausahaan pengelolaan keuangan negara, Direktorat
Jenderal Perbendaharan memandang perlu untuk menyusun pedoman/panduan pengelolaan
keuangan negara tingkat satuan kerja kementerian negara/lembaga dalam bentuk modul. Salah satu
modul tersebut adalah Modul Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Ruang lingkup modul Pengelolaan Keuangan BLU sebagai bagian Modul Pengelolaan Keuangan
pada Kementerian Negara/Lembaga atau Satuan Kerja meliputi: pendahuluan; pengertian, tujuan
dan asas; persyaratan, penetapan, dan pencabutan status; tata kelola; standar dan tarif layanan;
Perencanaan dan Penganggaran; Pelaksanaan anggaran; pengelolaan keuangan dan Barang;
akuntansi, pelaporan dan pertanggungjawaban; pembinaan, pengawasan, dan pemeriksaan; dan
penutup. Pengelolaan keuangan BLU pada modul ini membahas pengelolaan keuangan BLU di
lingkungan pemerintah pusat.

Modul Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU