BAB III
PELAKSANAAN ANGGARAN
A. Prinsip Pelaksanaan Anggaran
Pelaksanaan anggaran merupakan bagian dari siklus anggaran yang terdiri dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Dengan berlakunya
ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pelaksanaan
anggaran di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut di atas.
Berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan
negara. Sebagai tindak lanjut hal tersebut maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang ini dimaksudkan untuk
memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan negara. Sesuai dengan
kaidah-kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, Undang-undang
Perbendaharaan Negara menganut asas-asas sebagai berikut:
1. Asas kesatuan, menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara/daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara
utuh dalam dokumen anggaran.
3. Asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu.
4. Asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya.
Selanjutnya, peraturan yang melingkupi mekanisme dalam pelaksanaan anggaran
diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan lain di bawahnya
yang antara lain terdiri dari:
1. Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 72 tahun 2004.
2. Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 85 tahun 2006.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman
Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar.
5. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor.192/PMK.05/2009 Tentang Perencanaan Kas
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2009 Tentang Petunjuk Penyusunan
dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan
Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran Tahun Anggaran 2010
8. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-03/PB/2010 Tentang
Perkiraan Penarikan Dana Harian Satuan Kerja dan Perkiraan Pencairan Dana Harian
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Tahapan pelaksanaan anggaran oleh satker dimulai ketika UU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disahkan oleh DPR. Setelah APBN ditetapkan
dengan undang-undang, rincian pelaksanaaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Berdasarkan Peraturan Presiden tentang
rincian APBN, Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga
agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran
yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Wujud dari dokumen
pelaksanaan anggaran masing-masing kementerian negara/lembaga tersebut adalah
disusunnya DIPA (Daftar Isian Pelaksanaaan Anggaran) bagi masing-masing satker
lingkup kementerian negara/lembaga bersangkutan. DIPA memuat pelaksanaan kegiatan
satker dalam satu tahun anggaran yang berimplikasi pada adanya penerimaan maupun
pengeluaran anggaran pada satker tersebut. Jadi secara garis besar pelaksanaan
anggaran pada satker terdiri dari kegiatan penerimaan dan pengeluaran anggaran.
B. Pejabat Perbendaharaan Negara pada Satuan Kerja
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
menjelaskan bahwa Pejabat Perbendaharaan Negara terdiri dari:
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
2. Bendahara Umum Negara/Daerah
3. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran
Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran terdapat pada
setiap kementerian negara/lembaga. Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum
Negara, sedangkan Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah Bendahara
Umum Daerah.
1. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
menyebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang. Dalam rangka penetapan pejabat yang terkait pelaksanaan
anggaran pada satuan kerja (satker) di lingkungan kementerian negara/lembaganya,
menteri/pimpinan lembaga berwenang antara lain untuk:
a. Menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Barang
b. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara
c. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang
d. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran
e. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara
Pada setiap awal tahun anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Anggaran (PA) menunjuk Pejabat Kuasa PA untuk satker/ SKS di lingkungan instansi PA
bersangkutan dengan surat keputusan. Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa PA untuk menunjuk:
a. Pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja/penanggung jawab kegiatan/ pembuat komitmen;
b. Pejabat yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan
menandatangani SPM;
c. Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja.
Untuk pelaksanaan anggaran dekonsentrasi, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
PA mendelegasikan kewenangan menunjuk pejabat Kuasa PA, PPK, PP-SPM dan
Bendahara Pengeluaran kepada Gubernur. Sedangkan untuk pelaksanaan anggaran
dalam rangka tugas perbantuan, Menteri/Ketua Lembaga mendelegasikan kewenangan
untuk menunjuk pejabat KPA, PPK, PP-SPM dan Bendahara Pengeluaran kepada
Gubernur/Walikota/Bupati Kepala Desa.
Dalam menunjuk para pejabat tersebut harus diperhatikan larangan perangkapan
jabatan, sebagai berikut:
a. PA/Kuasa PA tidak boleh merangkap sebagai Bendahara Penerimaan/Pengeluaran,
b. Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat penerbit SPM, dan Bendahara Pengeluaran
tidak boleh saling merangkap.
c. Dalam hal pejabat/pegawai pada satuan kerja tidak memungkinkan pemisahan fungsi
karena jumlah pegawai yang sangat terbatas, maka pejabat Kuasa PA dapat
merangkap sebagai Pejabat Penerbit SPM.
Terkait dengan pendelegasian wewenang dari Pengguna Anggaran, Kuasa PA
mendelegasikan wewenang kepada:
a. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang diberi kewenangan untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. Pejabat ini
mempunyai kewenangan untuk mengadakan perikatan-perikatan terkait dengan
pengadaan barang dan jasa, serta mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
kepada Pejabat Penerbit SPM.
b. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PP SPM)
Sesuai Pasal 18 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, PA/Kuasa PA berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran
/akun yang telah disediakan dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas
beban APBN. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Pejabat Penerbit SPM yang telah ditunjuk oleh PA/Kuasa PA dengan Surat
Keputusan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut PP-SPM berwenang untuk:
1) Menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih,
2) Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan
dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa,
3) Meneliti tersedianya dana yang bersangkutan,
4) Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran (akun) yang
bersangkutan,
5) Memerintahkan kepada Kuasa BUN untuk melakukan pembayaran atas beban
APBN.
c. Petugas Pengelola Administrasi Belanja Pegawai (PPABP)
Berdasarkan pada Surat Dirjen Perbendaharaan No. S-4331/PB/2009 tanggal 30 Juli
2009 hal penunjukan PPABP, PPABP adalah pembantu Kuasa PA yang diberi tugas
dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi belanja pegawai
yang meliputi penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban belanja pegawai
pada satuan kerja.
Penunjukan PPABP pada satker ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 133/PMK.05/2008 tentang Pengalihan Pengelolaan Administrasi Belanja
Pegawai Negeri Sipil Pusat/Anggota Tentara Nasional Indonesia/Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia kepada Kementerian Negara/Lembaga bahwa dalam
rangka pengalihan pengelolaan administrasi belanja pegawai, maka setiap satker
diwajibkan untuk segera menunjuk PPABP untuk melaksanakan pengelolaan
adminitrasi belanja pegawai. Dalam hal pengelolaan administrasi belanja pegawai
telah dialihkan, Kuasa PA/Kepala satker bertanggung jawab terhadap:
1) pengujian, pembebanan pada mata anggaran yang disediakan, dan perintah
pembayaran tagihan-tagihan atas beban belanja pegawai dalam rangka
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2) penyelenggaraan pengelolaan administrasi belanja pegawai;
3) pengawasan pengelolaan administrasi belanja pegawai; dan
4) kerugian negara yang timbul sebagai akibat kesalahan dan/atau kelalaian dalam
pengelolaan dan administrasi belanja pegawai.
d. Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa
Pejabat pengadaan barang dan jasa adalah personil yang diangkat oleh pengguna
barang atau jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang dan jasa dengan
nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00. Tugas dari pejabat pengadaan barang dan
jasa antara lain:
1) Menyusun jadwal dan menetapkan pelaksanaan pengadaan
2) Menyusun dan menyiapkan harga perkiraan sendiri (HPS)
3) Menyiapkan dokumen pengadaan
4) Melakukan penilaian kualifikasi penyedia barang dan jasa
5) Melaksanakan proses penunjukan langsung
6) Mengawasi pelaksanaan pengadaan oleh penyedia barang dan jasa
7) Memeriksa hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa
8) Mengajukan permohonan pembayaran pekerjaan apabila pekerjaan telah selesai
100%
e. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
Panitia pengadaan barang dan jasa adalah tim yang diangkat oleh pengguna
barang/jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa, dan berasal dari
pegawai negeri baik dari instansi sendiri maupun instansi teknis lainnya. Panitia
pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
oleh panitia pengadaan adalah sebagai berikut:
1) Memiliki integritas moral, disiplin, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
2) Memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;
3) Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia pengadaan yang
bersangkutan;
4) Memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan
berdasarkan Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5) Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan
menetapkannya sebagai panitia pengadaan;
6) Memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.
2. Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran
Dalam pasal 1 angka 14 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara disebutkan bahwa Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi
tugas untuk dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan
membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang
negara/daerah. Sehubungan dengan pelaksanaan anggaran pada satuan kerja,
bendahara terdiri:
a. Bendahara Penerimaan
Bendahara penerimaan pada satker setiap tahun diangkat oleh menteri/pimpinan
lembaga dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan dalam pelaksanaan
anggaran pendapatan pada satker di lingkungan kementerian negara/lembaga.
Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima, menyimpan,
menyetor, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan penerimaan negara
bukan pajak yang berada dalam pengelolaannya. Untuk melaksanakan tugas
tersebut menteri/pimpinan lembaga dapat membuka Rekening Penerimaan pada
Bank Umum/Kantor Pos setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Keuangan selaku BUN dan dikuasakan kepada Kuasa BUN di daerah.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bendahara Penerima dapat dibantu oleh
sekretariat/anggota yang jumlahnya maksimum 5 orang dan sesuai pasal 10 ayat
4 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 jabatan Bendahara Penerimaan ini tidak
boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa BUN. Sesuai pasal
4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99 tahun 2006 dinyatakan bahwa
kementerian negara/lembaga mencantumkan seluruh estimasi pendapatan ke
dalam DIPA satuan kerja kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. DIPA
tersebut atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan
dengan DIPA merupakan dokumen sumber untuk mencatat estimasi
pendapatan.
b. Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan
uang untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada
kantor/satker Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran diangkat oleh menteri/pimpinan lembaga
Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan
kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan jabatan Bendahara
Pengeluaran antara lain:
1) Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa
Pengguna Anggaran/Kuasa Bendahara Umum Negara.
2) Bendahara Pengeluaran dilarang melakukan kegiatan perdagangan,
pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai
penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut
3) Bendahara Pengeluaran mengelola uang persediaan untuk keperluan
operasional sehari-hari kantor dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas
satuan kerja.
4) Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan
yang dikelolanya setelah:
a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah
pembayaran;
c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
5) Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Kuasa PA
apabila persyaratan tidak dipenuhi.
6) Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
uang negara yang berada di bawah pengelolaannya.
Struktur ideal organisasi pengelola keuangan pada satuan kerja:
++++++++++++++++++++++
BAGAN Gambar 1 : Struktur Organisasi Pengelola Keuangan pada Satuan Kerja
++++++++++++++++++++++
C. Pelaksanaan Pengeluaran pada Satuan Kerja
1. Gambaran Umum Pengeluaran Negara
Pengertian belanja negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Sedangkan pengeluaran negara adalah
uang yang keluar dari kas negara
++++++++++++++++++++++++
Gambar 2 : Belanja Negara
++++++++++++++++++++++++
Belanja pemerintah pusat dikelompokkan atas belanja pemerintah pusat
menurut organisasi/bagian anggaran, fungsi, dan jenis belanja. Belanja pemerintah
pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan
kepada kementerian negara/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan
dijalankan. Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah semua pengeluaran
Negara yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi
pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan
hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata
dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikkan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja pemerintah menurut jenis belanja adalah semua pengeluaran negara yang
digunakan untuk mebiayai belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lainlain.
Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih. Pengeluaran daerah adalah semua uang yang
keluar dari kas daerah. Pengeluaran tersebut untuk membiayai dana perimbangan
serta dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dana perimbangan adalah semua
pengeluaran negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas
dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
134/PMK.06/ 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan APBN,
peran Menteri Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara selaku BUN adalah
mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
anggaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa KPPN adalah Kuasa BUN di daerah yang
dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN melaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara secara giral. Penerimaan negara secara giral adalah proses
penerimaan negara dari sumber-sumber penerimaan ke dalam rekening Kas
Umum Negara (KUN) yang dilakukan dengan memindahbukukan dana tersebut
antar rekening bank sedangkan yang dimaksud dengan pengeluaran negara
secara giral adalah proses pembiayaan suatu kegiatan dengan sumber dana dari
APBN yang dilakukan dengan memindahbukukan dana antar rekening bank.
Pengecualian diberikan untuk pengadaan barang/jasa kepada satu rekanan yang
nilainya setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- dapat dibayarkan melalui uang
persediaan (uang kas) yang dikelola Bendahara Pengeluaran.
Pelaksanaan anggaran belanja negara didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang
dipersyaratkan.
2) Efektif, terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan,
serta fungsi setiap departemen/lembaga/pemerintah daerah.
3) Mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.
4) Belanja atas beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak
dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Dengan demikian,
pembayaran atas beban rekening kas negara baru dapat dilaksanakan jika
pekerjaan yang diperjanjikan sudah selesai dikerjakan dan diserahterimakan.
5) Jumlah dana yang dimuat dalam anggaran belanja merupakan batas tertinggi
untuk tiap-tiap pengeluaran. Pimpinan dan atau pejabat departemen/lembaga
tidak diperkenankan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
atas beban APBN jika dana untuk membiayai tindakan tersebut tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia dalam anggaran belanja negara atau tindakan
tersebut tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam anggaran
belanja negara.
Pengeluaran yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai belanja negara
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, terkait dengan prinsip-prinsip dalam belanja
negara maka terdapat pengeluaran-pengeluaran yang tidak dapat dibebankan
kepada anggaran belanja negara yaitu: (i) perayaan atau peringatan hari besar,
hari raya, hari ulang tahun, pesta untuk berbagai peristiwa, dan pekan olahraga
pada departemen/ lembaga/pemerintah daerah, (ii) pemberian ucapan selamat,
hadiah, tanda mata, karangan bunga, dan sebagainya untuk berbagai peristiwa,
dan (iii) pengeluaran lain-lain untuk kegiatan/keperluan yang sejenis. Untuk
penyelenggaraan rapat, rapat dinas, seminar, pertemuan, lokakarya, peresmian
kantor/proyek dan sejenisnya, dibatasi pada hal-hal yang sangat penting dan
dilakukan sesederhana mungkin.
2. Pembayaran Atas Beban APBN
Pembayaran atas beban APBN dapat dilaksanakan melalui dua cara, yaitu:
a. Cara Pembayaran Uang Persediaan (UP)
b. Cara Pembayaran Langsung (LS)
a. Cara Pembayaran Uang Persediaan (UP)
Cara pembayaran UP adalah melalui uang yang dikelola oleh bendahara
pengeluaran untuk jenis belanja dan jumlah pembayaran tertentu yang tidak dapat
dilakukan dengan pembayaran langsung. Pembayaran dengan UP selanjutnya dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Uang Persediaan (UP)
2) Tambahan Uang Persediaan (TUP)
3) Penggantian Uang Persediaan (GUP)
+++++++++++++++++++++++++
Gambar 3 : Model Pembayaran Uang Persediaan (UP)
+++++++++++++++++++++++++
1) Uang Persediaan (UP)
Sesuai dengan terminologi yang telah disebutkan sebelumnya, UP adalah
uang muka kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving), diberikan
kepada bendahara pengeluaran satker hanya untuk membiayai kegiatan operasional
kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung.
Penggunaan uang persediaan ini menjadi tanggungjawab bendahara pengeluaran
pada masing-masing satker.
Pengisian kembali (revolving) uang persediaan dilakukan setelah uang
persediaan digunakan sekurang-kurangnya 75% sepanjang masih tersedia pagu dana
dalam DIPA. Sisa uang persediaan yang ada di bendahara pengeluaran pada akhir
tahun anggaran harus disetorkan kembali ke rekening kas negara selambat-lambatnya
tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan. Setoran sisa uang persediaan
dimaksud, oleh KPPN dibukukan sebagai pengembalian uang persediaan sesuai akun
yang ditetapkan.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-73/PMK.05/2008 tentang
Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja dan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Nomor PER-47/PB/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara
Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/ Satuan Kerja untuk membantu pengelolaan
uang persediaan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian/lembaga,
apabila diperlukan Kuasa PA dapat mengangkat satu atau lebih Bendahara
Pengeluaran Pembantu (BPP).
Dalam rangka untuk mempercepat pencairan dana bagi satker, Ditjen
Perbendaharaan menerbitkan Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor S-
3205/PB/2009 tanggal 8 Juni 2009 tentang Pencairan Dana Kelompok Akun 5242
(Belanja Perjalanan Luar Negeri) dan Belanja Modal Melalui Mekanisme Uang
Persediaan sebagai berikut :
a) Belanja Perjalanan Luar Negeri (kelompok Akun 5242) dengan jumlah melebihi Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dapat dibayarkan melalui mekanisme Uang
Persediaan (UP) tanpa diperlukan persetujuan dari Direktur Jenderal
Perbendaharaan;
b) Uang Persediaan juga dapat diberikan untuk Belanja Modal Kelompok Akun 5311,
5321, 5331, 5341, dan 5361 (sepanjang untuk pengeluaran honor tim, ATK,
perjalanan dinas, biaya pengumuman lelang, pengurusan surat perijinan dan
pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung dalam
rangka perolehan aset).
Adapun besaran UP bagi satker-satker kementerian negara/lembaga dapat
diberikan setinggi-tingginya:
1) 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan
untuk diberikan UP, maksimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk
pagu sampai dengan Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah).
2) 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA menurut kualifikasi belanja yang
diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
untuk pagu di atas Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah).
3) 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang
diijinkan untuk diberikan UP, maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
untuk pagu diatas Rp 2.400.000.000,00 (dua milyar empat ratus juta rupiah).
Perubahan besaran UP di luar ketentuan di atas, ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Sesuai dengan pasal 7 (angka 1) Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-
66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan atas Beban APBN, Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menerbitkan SPM-UP berdasarkan DIPA atas
permintaan bendahara pengeluaran yang dibebankan pada akun transito. Kode
kegiatan untuk akun transito tersebut yaitu:
a) untuk rupiah murni 0000.0000.825111
b) pinjaman luar negeri 9999.9999.825112
c) PNBP 0000.0000.825113
Pembayaran UP yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
satu rekanan tidak boleh melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kecuali
untuk pembayaran honor.
2) Tambahan Uang Persediaan (TUP)
Dalam hal terdapat kebutuhan yang mendesak, sementara Uang Persediaan
(UP) tidak mencukupi untuk membiayai keperluan tersebut, maka dapat diberikan
Tambahan Uang Persediaan (TUP), dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) untuk klasifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi
instansi dalam wilayah pembayaran KPPN bersangkutan.
b) Permintaan TUP diatas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk klasifikasi
belanja yang diperbolehkan diberi UP harus mendapat dispensasi dari Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh bendahara pengeluaran satker
untuk mengajukan TUP yaitu:
a) Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak/tidak dapat tidak ditunda;
b) Digunakan paling lama satu bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan.
c) Apabila tidak habis digunakan dalam satu bulan sisa dana yang ada pada
bendahara, harus disetor ke Rekening kas Negara;
d) Apabila ketentuan pada butir c) tersebut di atas tidak dipenuhi kepada satker
yang bersangkutan tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran
berkenaan.
e) Pengecualian terhadap butir d) diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen
Perbendaharaan atas usul Kepala KPPN.
3) Penggantian Uang Persediaan (GUP)
Surat permintaan pembayaran UP pada prinsipnya hanya diajukan satu kali
dalam satu tahun anggaran, yaitu pada awal tahun. Pada tahap berikutnya, bukan lagi
UP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran, tetapi GUP adalah merupakan
revolving dana UP yang telah dipergunakan dengan persyaratan dana UP tersebut
telah terealisasi minimal 75%.
Penggantian Uang Persediaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a) GUP Isi
Setelah rekening bendahara pengeluaran terisi uang persediaan, penggunaan UP
menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran. Bentuk pertanggungjawaban
penggunaan UP oleh bendahara pengeluaran dituangkan dalam bentuk GUP Isi.
Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaa UP yang dikelola
oleh bendahara pengeluaran, GUP Isi sekaligus berfungsi sebagai pengisian
kembali UP.
b) GUP Nihil
Setelah rekening bendahara pengeluaran terisi tambahan uang persediaan,
penggunaan TUP menjadi tanggung jawab bendahara pengeluaran. Bendahara
wajib mempertanggungjawabkan TUP yang dikelolanya paling lambat satu bulan
setelah dikeluarkannya SP2D TUP oleh KPPN. Bentuk pertanggungjawaban atas
penggunaan TUP yang dikelolanya yaitu dengan pengajuan GUP Nihil.
Apabila dalam cara pembayaran UP dan TUP permintaan pembayarannya
masih menggunakan akun transito (belum membebani angaran), maka dalam model
GU ini kode akun yang digunakan telah disesuaikan dengan pembebanan tagihannya.
4) Cara pembayaran langsung (LS)
Cara pembayaran langsung (LS) yaitu perintah pembayaran langsung kepada
pihak ketiga yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atas
dasar perjanjian kontrak atau surat perintah kerja lainnya. Perintah pembayaran ini
dilakukan terhadap pengadaan barang dan/atau jasa, dimana sesuai ketentuan,
mekanisme pembayarannya dilakukan secara langsung oleh Kuasa Bendahara Umum
Negara yang berarti terhadap belanja tersebut telah membebani akun yang berkenaan.
+++++++++++++++++++++
Gambar 4 : Cara Pembayaran Langsung
+++++++++++++++++++++
Untuk pembayaran atas kegiatan yang telah dilaksanakan, dimana penerimanya
lebih dari satu, dapat diajukan dengan SPP-LS akan tetapi pembayarannya dilakukan
melalui bendahara pengeluaran untuk selanjutnya disampaikan kepada pihak-pihak yang
berhak menerima. Surat permintaan pembayaran tersebut disebut dengan SPP-LS
bendahara yang digunakan untuk pencairan belanja, antara lain belanja pegawai seperti
gaji, lembur, honor/vakasi, dan belanja perjalanan dinas.
Pembayaran dengan menggunakan cara pembayaran LS antara lain dapat
dilakukan untuk:
1) Pengadaan tanah
2) LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
3) LS non Belanja Pegawai, yaitu:
a) Pembayaran pengadaan barang dan jasa:
b) Pembayaran biaya langganan daya dan jasa (listrik, telepon dan air)
c) Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pencairan
anggaran belanja negara adalah serangkaian proses penarikan dana APBN dari rekening
kas negara ke rekening penerima, dengan syarat dan prosedur sebagai berikut:
1) Adanya komitmen/perikatan pengadaan barang/jasa terlebih dahulu.
2) Setelah barang/jasa diserahterimakan, muncul hak tagih dari pelaksana kegiatan.
3) Berdasarkan hak tagih/bukti pengeluaran, dilakukan pemberkasan dalam bentuk
SPP.
4) Proses pengujian dilakukan atas SPP yang diajukan sebelum diterbitkan SPM
5) Berdasarkan SPM yang diajukan satuan kerja, KPPN menerbitkan SP2D, yaitu
perintah pemegang rekening kas negara kepada bank dimana rekening kas negara
ditempatkan untuk mentransfer dana ke rekening tertentu sesuai perintah
pembayaran.
3. Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
a. Pembukaan Rekening Bank/Pos oleh Satuan Kerja
Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran atas beban belanja negara, sebelum
mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), kepala satuan kerja wajib
memiliki rekening bank/pos. Pembukaan rekening tersebut harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari KPPN selaku kuasa BUN (bagi satuan kerja baru)
sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 57/PMK.05/2007
tentang Pengelolaan Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/ Kantor/Satuan
Kerja. Satker mengajukan permohonan persetujuan pembukaan rekening kepada
KPPN dengan menggunakan surat permohonan persetujuan pembukaan rekening,
dengan dilampiri: (i) fotokopi dokumen pelaksanaan anggaran, dan (ii) surat
pernyataan tentang penggunaan rekening. Setelah KPPN menyetujui permohonan
tersebut, satker dapat melakukan pembukaan rekening atas nama bendahara
pengeluaran satker yang bersangkutan untuk dilaporkan ke KPPN melalui surat
laporan pembukaan rekening.
++++++++++++++++++++++++
Gambar 5 : Mekanisme Pembukaan Rekening Satuan Kerja
++++++++++++++++++++++++
Keterangan:
1. Satker mengajukan Surat Permohonan persetujuan pembukaan rekening ke KPPN
2. KPPN menerbitkan Surat Persetujuan Pembukaan Rekening
3. Satker Membuka Rekening pada Bank/Pos
4. Bank/Pos menerbitkan nomor rekening bagi satker
5. Satker Melaporkan Pembukaan nomor Rekening tersebut kepada KPPN
Selanjutnya proses pencairan dana APBN yang dilakukan Kuasa PA
menggunakan formulir sebagaimana ditentukan dalam lampiran Peraturan Dirjen
Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN. Adapun formulir tersebut
adalah:
a. Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
Formulir SPP berisi jumlah permintaan pembayaran yang diajukan oleh satuan kerja .
Satu formulir SPP menampung pengeluaran atas beban mata anggaran/akun yang
berada dalam satu satu klasifikasi belanja dan satu kegiatan yang sama.
b. Daftar Rincian Permintaan Pembayaran
Daftar ini merupakan lampiran SPP sebagai penjelasan atas penggunaan dana
sesuai mata anggaran/akun per klasifikasi belanja dalam satu subkegiatan. Daftar
Rincian Permintaan Pembayaran tersebut harus dilampiri dengan dokumen
pendukung yang terdiri dari:
1) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
Merangkum bukti-bukti pengeluaran (kuitansi) atas beban mata anggaran/akun
yang berada di dalam satu klasifikasi belanja dalam satu sub kegiatan.
2) Surat Bukti Setoran (SBS)
Dapat berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea Cukai (SSBC),
Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), SSPB (Surat Setoran Pengembalian
Belanja), dan lain-lain.
b. Dokumen Kelengkapan pada Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
1) SPP-UP (Uang Persediaan)
Dalam pengajuan SPP-UP harus dilampiri dokumen kelengkapan SPP-UP yaitu:
a) Formulir SPP;
b) SK pengelola keuangan satker (Kuasa PA, PPK, PP SPM, Bendahara
Pengeluaran) beserta specimen tanda tangan;
c) Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk, yang menyatakan
bahwa uang persediaan tersebut tidak untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
yang menurut ketentuan harus dibayar dengan LS.
2) SPP-TUP (Tambahan Uang Persediaan)
Dokumen kelengkapan SPP-TUP adalah sebagai berikut:
a) Formulir SPP;
b) Rincian rencana penggunaan dana Tambahan UP dari Kuasa Pengguna
Anggaran atau pejabat yang ditunjuk;
c) Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa:
(1) Dana tambahan UP tersebut akan digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal diterbitkannya SP2D;
(2) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke rekening kas negara;
(3) Tidak untuk membiayai pengeluran-pengeluaran yang menurut ketentuan
harus dibayar dengan LS.
d) Rekening Koran Terakhir;
e) Besaran TUP diatur sebagai berikut :
(1) Sampai dengan jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus
mendapat persetujuan Kepala Kantor Perbendaharaan setempat (dalam
wilayah kerjanya);
(2) Diatas jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus mendapat
persetujuan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan(dalam wilayah
kerjanya).
SPP-TUP diterbitkan dengan menggunakan kode kegiatan/subkegiatan/mata
anggaran/akun:
a) untuk rupiah murni 0000.0000.825111
b) pinjaman/hibah luar negeri 9999.9999.825112
c) PNBP 0000.0000.825113
3) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan), terdiri:
a) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan) Isi
Dalam pengajuan SPP-GUP Isi (yang berasal dari pertanggungjawaban UP)
ini, dokumen kelengkapan adalah sebagai berikut:
(1) Formulir SPP;
(2) Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
(3) SPTB;
(4) Fotokopi faktur pajak;
(5) Fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh Kuasa PA
atau pejabat yang ditunjuk.
b) SPP-GUP (Penggantian Uang Persediaan) Nihil
SPP-GUP Nihil terdiri dari:
1. SPP-GUP Nihil, pertanggungjawaban yang berasal dari permintaan UP
2. SPP-GUP Nihil, pertanggungjawaban yang berasal dari permintaan TUP
Dokumen yang dilampirkan dalam pengajuan SPP-GU Nihil adalah sebagai
berikut:
a) Formulir SPP;
b) Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
c) SPTB;
d) Fotokopi faktur pajak;
e) Fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisir oleh kuasa
Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk;
f) Surat tanda setoran (formulir SSBP), jika terdapat sisa uang persediaan yang
dimintakan untuk disetorkan kembali ke rekening kas negara. Mata anggaran
/akun yang digunakan dalam penyetoran sisa UP adalah:
(1) untuk rupiah murni : 815111
(2) untuk pinjaman luar negeri : 815112
(3) untuk PNBP : 815113
4) SPP UP/LS untuk Pengadaan Tanah
Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui
mekanisme pembayaran langsung (LS). Apabila tidak mungkin dilaksanakan
melalui mekanisme LS, dapat dilakukan melalui mekanisme Uang Persediaan
(UP). Dokumen yang dilampirkan dalam pengajuan SPP UP/LS untuk Pengadaan
Tanah adalah sebagai berikut:
a) SPP-LS
(1) Surat Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya
lebih dari satu hektar di kabupaten/kota;
(2) Fotokopi bukti kepemilikan tanah yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
(3) Kuitansi;
(4) SPPT PBB tahun transaksi;
(5) Surat persetujuan harga;
(6) Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa dan
tidak sedang dalam agunan;
(7) Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli di hadapan PPAT;
(8) SSP PPh final atas pelepasan hak;
(9) Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan).
b) SPP UP/TUP
(1) Pengadaan tanah yang luasnya kurang dari satu hektar dilengkapi
persyaratan daftar nominatif pemilik tanah yang ditandatangani oleh Kuasa
PA.
(2) Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari satu hektar dilakukan dengan
bantuan panitia pengadaan tanah di kabupaten/kota setempat dan
dilengkapi dengan daftar nominatif pemilik tanah dan besaran harga tanah
yang ditandatangani oleh Kuasa PA dan diketahui oleh Panitia Pengadaan
Tanah (PPT).
(3) Pengadaan tanah yang pembayarannya dilaksanakan melalui UP/TUP
harus terlebih dahulu mendapat ijin dispensasi dari Kantor Pusat Ditjen
Perbendaharaan/Kanwil Ditjen Perbendaharaan sedangkan besaran
uangnya harus mendapat dispensasi UP/TUP sesuai ketentuan yang
berlaku.
5) SPP-LS untuk pembayaran gaji, lembur dan honor/vakasi
a) Pembayaran Gaji Induk/ gaji susulan/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas dilengkapi dengan:
(1) Daftar Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas;
(2) SK CPNS;
(3) SK PNS;
(4) SK kenaikan pangkat;
(5) SK jabatan;
(6) Surat Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala;
(7) Surat Pernyataan Pelantikan;
(8) Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan;
(9) Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;
(10) Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga;
(11) Surat Nikah/Cerai/Kematian;
(12) Akta Kelahiran/Putusan Pengesahan/Pengangkatan Anak dari
Pengadilan;
(13) Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP);
(14) Daftar potongan Sewa Rumah Dinas,
(15) Surat Keterangan Masih Sekolah/Kuliah/ Kursus
(16) Surat Keputusan Mutasi Pindah,
(17) Surat Keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji,
(18) SK Pemberian Uang Tunggu,
(19) SSP PPh pasal 21,
(20) Arsip Data Komputer (ADK) aplikasi GPP.
Kelengkapan tersebut harus sesuai peruntukannya.
b) Pembayaran lembur dilengkapi dengan:
(1) Surat Perintah Kerja (SPK) Lembur;
(2) Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur termasuk Rekapitulasi
Perhitungan Lembur yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara
Pengeluaran, dan Kuasa PA/PPK;
(3) Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;
(4) Daftar Hadir Kerja Lembur;
(5) SSP PPh pasal 21; dan
(6) SPTJM dari Kuasa PA/PPK.
c) Pembayaran honor/vakasi dilengkapi dengan
(1) SK tentang pemberian honorarium/vakasi;
(2) Daftar pembayaran honorarium yang ditandatangani oleh PPABP,
Bendahara Pengeluaran, dan Kuasa PA/PPK;
(3) SSP PPh pasal 21;
(4) SPTJM dari Kuasa PA/PPK
6) SPP-LS non Belanja Pegawai:
a) Dokumen Pembayaran Pengadaan barang dan jasa :
(1) Kontrak/SPK yang mencantumkan nomor rekening rekanan;
(2) Surat pernyataan Kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
(3) Berita acara penyelesaian pekerjaan;
(4) Berita acara serah terima pekerjaan;
(5) Berita acara pembayaran;
(6) Kuitansi yang telah disetujui oleh Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk;
(7) Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak;
(8) Jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan Bank atau
Lembaga Keuangan non bank untuk pembayaran uang muka.
(9) Dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri;
(10) Ringkasan kontrak untuk rupiah murni dan untuk PHLN.
Berita acara penyelesaian pekerjaan, berita acara serah terima pekerjaan, dan
berita acara pembayaran dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 5 dan
disampaikan:
(1) Asli dan satu tembusan untuk penerbit SPM;
(2) Masing-masing satu tembusan untuk para pihak yang membuat kontrak;
(3) Satu tembusan untuk pejabat pelaksana pemeriksaan pekerjaan.
b) Dokumen Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon
Gas, dan Air):
(1) Bukti tagihan daya dan jasa;
(2) No. rekening pihak ketiga (PLN, Telkom, PDAM,dll).
Dalam hal pembayaran langganan daya dan jasa belum dapat dilakukan secara
langsung, satker yang bersangkutan dapat melakukan pembayaran dengan UP.
Tunggakan langganan daya dan jasa tahun anggaran sebelumnya dapat
dibayarkan oleh satker setelah mendapat dispensasi/persetujuan terlebih dahulu
dari Kanwil Ditjen. Perbendaharaan sepanjang dananya tersedia dalam DIPA
berkenaan.
7) SPP Belanja Perjalanan Dinas
a) Biaya Perjalanan Dinas Luar Negeri
Ketentuan mengenai biaya perjalanan dinas luar negeri diatur dalam PMK
No. 97/PMK.05/2010 tentang Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Pejabat
Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap. Pelaksanaan perjalanan
dinas luar negeri dilaksanakan dengan sangat selektif, yaitu hanya untuk
kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan. Perjalanan dinas luar negeri dilaksanakan
dengan memperhatikan ketersediaan dana dan kesesuian dengan pencapaian
kinerja Kementerian Negara/Lembaga. Perjalanan dinas luar negeri terdiri
dari:
1. Perjalanan dinas jabatan
Perjalanan dinas jabatan pada dasarnya berupa:
a. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di dalam negeri ke satu atau
lebih tempat tujuan di luar negeri dan kembali ke tempat kedudukan di
dalam negeri;
b. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke satu atau
lebih tempat tujuan di luar negeri dan kembali ke tempat kedudukan di
luar negeri;
c. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke tempat
tujuan di dalam negeri dan kembali ke tempat kedudukan di luar
negeri;
d. Perjalanan dinas dari tempat kedudukan di luar negeri ke tempat
tujuan di dalam negeri dilanjutkan ke satu atau lebih tempat tujuan di
luar negeri lainnya dan kembali ke tempat kedudukan di luar negeri.
Termasuk dalam lingkup perjalanan dinas luar negeri tersebut di atas
adalah mengikuti tugas belajar, mendapatkan pengobatan di luar
negeri, menjemput/mengantar jenazah, detasering, kegiatan magang,
mengikuti konferensi/sidang internasional, mengikuti pameran/promosi,
dan mengikuti kegiatan training/diklat/kursus singkat.
2. Perjalanan dinas pindah
Perjalanan dinas pindah merupakan perjalanan dinas yang dilakukan
berdasarkan surat keputusan pindah dari Kementerian Luar Negeri dalam
rangka:
a. Penempatan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang
sah dari Indonesia untuk tugas tetap pada tempat tujuan pindah ke
Perwakilan;
b. Penempatan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang
sah untuk tugas tetap dari Perwakilan ke tempat tujuan pindah ke
Perwakilan lainnya;
c. Penarikan pejabat negara/pegawai negeri beserta keluarga yang sah
untuk tugas tetap dari Perwakilan ke tempat tujuan pindah di dalam
negeri;
d. Pemulangan keluarga yang sah dari dari pejabat negara/pegawai
negeri yang meninggal dunia dari tempat tugas terakhirnya di luar
negeri ke tempat tujuan pindah di dalam negeri.
Pembayaran biaya perjalanan dinas luar negeri dapat dilaksanakan melalui
mekanisme uang persedian maupun pembayaran langsung, yaitu:
A. Mekanisme Uang Persediaan (UP)
Pembayaran melalui mekanisme UP dilakukan dengan memberikan uang
muka kepada pejabat/pegawai yang akan melaksanakan perjalanan dinas
oleh bendahara pengeluaran dari UP/TUP yang dikelolanya dengan
melampirkan dokumen:
1. Surat tugas dan surat persetujuan pemerintah, atau surat keputusan
pindah;
2. SPPD;
3. Kuitansi perjalanan dinas;
4. Rincian biaya perjalanan dinas.
B. Mekanisme Pembayaran Langsung (LS)
Pembayaran biaya perjalanan dinas luar negeri melalui mekanisme LS
melalui rekening bendahara pengeluaran atau pejabat/pegawai/pegawai
tidak tetap/pihak lain dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Biaya perjalanan dinas telah dipastikan jumlahnya sebelum
perjalanan dinas dilaksanakan, dengan ketentuan:
a) Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada yang
bersangkutan melebihi biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan,
kelebihan tersebut harus disetor ke kas negara;
b) Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada yang
bersangkutan kurang dari biaya perjalanan dinas yang
dikeluarkan, kekurangan tersebut tidak memperoleh
penggantian.
2. Perjalanan dinas telah dilakukan sebelum biaya perjalanan dinas
dibayarkan.
b) Biaya Perjalanan Dinas Dalam Negeri
Merupakan biaya perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat yang dituju
dan kembali ke tempat kedudukan semula dalam rangka dinas (sesuai
Perdirjen Perbendaharaan nomor PER-21/PB/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap), terdiri dari:
(1) Uang harian (sesuai wilayah/propinsi yang ditetapkan oleh Peraturan
Menteri Keuangan);
(2) Biaya transport pegawai (biaya yang diperlukan untuk perjalanan dari
tempat kedudukan ke terminal bus/stasiun/bandar/pelabuhan
keberangkatan sampai tempat tujuan pergi pulang, termasuk di dalamnya
retribusi yang dipungut di terminal/stasiun/bandara/pelabuhan sesuai
peraturan daerah setempat);
(3) Biaya transportasi dalam kota (sesuai dengan ketentuan yang berlaku);
(4) Biaya penginapan (biaya untuk menginap di hotel atau tempat lainnya
dalam hal tidak terdapat hotel);
(5) Uang representatif (bagi eselon II keatas);
(6) Sewa kendaraan dalam kota (diberikan kepada pejabat negara secara at
cost maksimum Rp 500.000,00/hari sudah termasuk biaya untuk
pengemudi, BBM, dan pajak dalam rangka keperluan pelaksanan tugas di
tempat tujuan.
c) Ketentuan khusus biaya perjalanan dinas dapat diberlakukan untuk keperluan
menjemput/mengantarkan jenazah Pejabat Negara/Pegawai Negeri/Pegawai
Tidak Tetap ke tempat pemakaman yang:
(1) Meninggal dunia dalam melakukan perjalanan dinas; atau
(2) Meninggal dunia dari tempat kedudukan yang terakhir ke kota tempat
pemakaman.
Selain biaya menjemput/mengantar jenazah tersebut di atas juga diberikan
biaya pemetian dan biaya angkutan jenazah.
Pada dasarnya perjalanan dinas menganut prinsip at cost (biaya riil). Dalam
hal biaya perjalanan dinas untuk mengikuti seminar, rapat, dan lain-lain yang
biaya perjalanan dinasnya dibebankan pada DIPA satker penyelenggara kegiatan,
biaya transportasi keberangkatan dibayarkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan
sesuai bukti pengeluaran. Sedangkan biaya transportasi kepulangan dibayarkan
sesuai tarif yang berlaku dengan mengacu bukti biaya transportasi yang
disampaikan pada saat kedatangan. Apabila biaya tiket kepulangan lebih besar
dari kedatangan, selisih biaya dapat dimintakan dengan melampirkan asli kuitansi
pembelian tiket dan foto copy tiket kepulangan.
Pembayaran biaya perjalanan dinas dapat dilakukan dengan mekanisme Uang
Persediaan (UP) dan/atau Pembayaran Langsung (LS):
a) Mekanisme Uang Persediaan (UP)
Pembayaran biaya perjalanan dinas melalui mekanisme UP dilakukan dengan
memberikan uang muka kepada pejabat negara/pegawai negeri/pegawai tidak
tetap yang melaksanakan perjalanan dinas oleh Bendahara Pengeluaran. Jumlah
uang muka perjalanan dinas dapat melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap pejabat negara/pegawai negeri/pegawai tidak tetap yang
melaksanakan perjalanan dinas.
Pemberian uang muka ini berdasarkan atas perintah dari Kuasa PA/Pejabat
Pembuat Komitmen kepada Bendahara Pengeluaran dengan dilampiri:
(1) surat tugas untuk melaksanakan perjalanan dinas yang ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang;
(2) SPPD;
(3) kuitansi perjalanan dinas;
(4) rincian biaya perjalanan dinas.
Biaya perjalanan dinas dipertanggungjawabkan oleh pegawai yang melakukan
perjalanan dinas paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah perjalanan dinas
dilaksanakan dengan menyampaikan seluruh bukti pengeluaran asli kepada
Pejabat Pembuat Komitmen. Pejabat Pembuat Komitmen melakukan perhitungan
rampung terhadap seluruh bukti pengeluaran biaya perjalanan dinas pegawai yang
bersangkutan dan disampaikan kepada bendahara pengeluaran.
Apabila terdapat kelebihan pembayaran, pegawai yang melakukan perjalanan
dinas mengembalikan kelebihan tersebut kepada bendahara pengeluaran. Namun,
jika terdapat kekurangan pembayaran, atas perintah Kuasa PA/Pejabat Pembuat
Komitmen, bendahara pengeluaran membayar kekurangan tersebut kepada
pegawai yang telah melakukan perjalanan dinas.
Berdasarkan pertanggungjawaban perjalanan dinas yang telah dilakukan
perhitungan rampung, Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPP-GUP
dilampiri SPTB dan bukti-bukti pengeluaran kepada PPSPM.
b) Mekanisme Pembayaran Langsung (LS)
Pembayaran biaya perjalanan dinas melalui mekanisme LS kepada pihak
ketiga dapat berupa: event organizer, biro jasa perjalanan, maskapai
penerbangan, dan perusahaan jasa perhotelan/penginapan. Penetapan pihak
ketiga dilakukan melalui pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai peraturan
perundang-undangan.
Pembayaran biaya perjalanan dinas kepada pihak ketiga didasarkan atas prestasi
kerja yang telah diselesaikan sebagaimana diatur dalam kontrak/perjanjian.
Kontrak perjanjian ini dapat dilakukan untuk 1 (satu) paket kegiatan atau untuk
kebutuhan periode tertentu. Atas dasar prestasi kerja yang telah diselesaikan,
pihak ketiga mengajukan tagihan kepada Pejabat Pembuat Komitmen.
Berdasarkan tagihan dari pihak ketiga, Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan
SPP kepada PP SPM dengan dilampiri:
(1) Kontrak/perjanjian yang mencantumkan nomor rekening;
(2) Surat pernyataan Kuasa PA mengenai penetapan rekanan;
(3) Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;
(4) Berita Acara Pembayaran;
(5) Kuitansi;
(6) SPTB;
(7) Resume Kontrak/SPK;
(8) Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak (SSP) sesuai ketentuan;
(9) Daftar pelaksanaan/prestasi kerja yang memuat antara lain: informasi data
Pejabat Negara/Pegawai Negeri/Pegawai Tidak Tetap (nama,
pangkat/golongan), tujuan, tanggal keberangkatan, tempat menginap, lama
menginap, dan jumlah biaya masing-masing pegawai.
(10) Fotokopi NPWP
Pembayaran biaya perjalanan dinas dapat dilakukan dengan mekanisme LS
melalui rekening bendahara pengeluaran atau rekening pejabat negara/pegawai
negeri/pegawai tidak tetap apabila:
(1) Biaya perjalanan dinas telah dipastikan jumlahnya sebelum perjalanan dinas
dilaksanakan;
(2) Perjalanan dinas telah dilakukan sebelum biaya perjalanan dinas dibayarkan.
Dalam hal biaya perjalanan dinas dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran
Langsung (LS) kepada bendahara pengeluaran, terdapat ketentuan sebagai
berikut:
1. Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada pegawai melebihi
biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan, kelebihan tersebut harus disetor ke
kas negara;
2. Apabila biaya perjalanan dinas yang dibayarkan kepada pegawai kurang dari
biaya perjalanan dinas yang dikeluarkan, kekurangan tersebut tidak
memperoleh penggantian.
8) SPP untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
SPP-UP/TUP untuk PNBP diajukan terpisah dari SPP-UP/TUP lainnya. UP dapat
diberikan kepada satker pengguna setinggi-tingginya 20% dari pagu dana PNBP
pada DIPA maksimal sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan
melampirkan daftar realisasi pendapatan dan penggunaan dana DIPA (PNBP) tahun
anggaran sebelumnya.
Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu
bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP).
Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimum sesuai formula sebagai
berikut : MP = (PPP x JS) - JPS
MP = Maksimum Pencairan Dana;
PPP = Proporsi Pagu Pengeluaran terhadap Pendapatan;
JS = Jumlah setoran;
JPS = Jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM
terakhir yang diterbitkan.
Dalam pengajuan SPM-TUP/GUP/LS PNBP ke KPPN, satker pengguna harus
melampirkan daftar perhitungan jumlah maksimum pencairan dana;
Untuk satker pengguna yang setorannya dilakukan secara terpusat, pencairan dana
diatur secara khusus dengan surat edaran Dirjen Perbendaharaan tanpa
melampirkan SSBP;
Untuk satker pengguna yang menyetorkan pada masing-masing unit (tidak terpusat),
pencairan dana harus melampirkan bukti setoran (SSBP) yang telah dikonfirmasi oleh
KPPN. Besaran PPP untuk masing-masing satker pengguna diatur berdasarkan surat
keputusan Menteri Keuangan. Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan
tidak boleh melampaui pagu PNBP satker yang bersangkutan dalam DIPA.
Pertanggungjawaban penggunaan dana UP/TUP PNBP oleh Kuasa PA, dilakukan
dengan mengajukan SPM ke KPPN setempat dengan melampirkan SPTB.
Khusus perguruan tinggi negeri selaku pengguna PNBP (non Badan Hukum Milik
Negara/non Badan Layanan Umum), sisa dana PNBP yang disetor ke rekening kas
negara pada akhir tahun anggaran dapat dicairkan kembali, maksimal sebesar jumlah
yang sama pada awal tahun anggaran berikutnya mendahului diterimanya DIPA dan
merupakan bagian dari target PNBP yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran
berikutnya.
Sisa dana PNBP dari satker pengguna selain perguruan tinggi negeri selaku
pengguna PNBP (non BHMN/non BLU), yang disetor ke rekening kas negara pada
akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan PNBP tahun anggaran
berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan setelah
diterimanya DIPA.
Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetor ke
rekening kas negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP
tahun anggaran berikutnya.
Untuk keseragaman dalam pembukuan sistem akuntansi, maka penyetoran PNBP
menggunakan formulir SSBP.
4. Surat Perintah Membayar (SPM)
Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/Kuasa
PA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA
atau dokumen lain yang dipersamakan. Dalam alur dokumen pembayaran belanja negara,
SPP yang telah ditandatangani oleh PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk beserta
dokumen kelengkapannya dikirimkan kepada Pejabat Penandatangan SPM untuk
dilakukan verifikasi.
A. Mekanisme Penerbitan SPM
Tahapan penerimaan dan verifikasi SPM adalah sebagai berikut:
1) Penerimaan dan pengujian SPP
Petugas penerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi check list
kelengkapan berkas SPP, mencatatnya dalam buku pengawasan penerimaan SPP
dan membuat/menandatangani tanda terima SPP berkenaan. Selanjutnya petugas
penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada Pejabat Penandatangan SPM.
2) Pejabat Penandatangan SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
a) Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b) Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh
keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran.
c) Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan /atau kelayakan hasil kerja yang dicapai
dengan indikator keluaran
d) Memeriksa kesesuaian kontrak kerja dengan hasil kerja yang dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan Barang/Jasa dan Berita Acara Serah Terima
Barang/Jasa.
e) Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
(1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran (nama orang/ perusahaan,
alamat, nomor rekening dan nama bank);
(2) Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan
prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam
kontrak);
(3) Jadwal waktu pembayaran.
f) Memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan sesuai dengan indikator
keluaran yang tercantum dalam DIPA berkenaan dan/atau spesifikasi teknis yang
sudah ditetapkan dalam kontrak.
Apabila proses verifikasi terhadap SPP telah dilaksanakan, Pejabat Penandatangan
SPM menerbitkan dan menandatangani SPM dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
1) Lembar kesatu dan kedua disampaikan kepada KPPN.
2) Lembar ketiga sebagai pertinggal pada satker yang bersangkutan.
Dalam hal terdapat pengembalian penerimaan negara bukan pajak yang terlanjur
disetor ke Rekening Kas Negara, maka akan diterbitkan SPM pengembalian dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Bagi Kementerian Negara/Lembaga atau satker yang mempunyai DIPA, SPM
Pengembalian diterbitkan oleh satker yang bersangkutan.
2) Bagi instansi/badan/pihak ketiga yang tidak mempunyai DIPA, SPM Pengembalian
diterbitkan oleh KPPN c.q. Subbagian Umum sesuai ketentuan yang berlaku.
3) Untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2), SPM yang
diterbitkan harus dilampiri surat keterangan dari KPPN yang menyatakan bahwa
penerimaan negara yang akan dikembalikan kepada yang berhak telah dibukukan
oleh KPPN.
4) Khusus untuk pengembalian sebagaimana dimaksud pada angka 1) SPM
dimaksud harus dilampiri pula Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM)
dari Kuasa PA.
Dalam hal pengembalian pengeluaran anggaran yang telah disetor ke Rekening Kas
Negara, maka harus dilakukan dengan SPM Pengembalian yang diterbitkan oleh
satker bersangkutan dilampiri surat keterangan pembukuan oleh KPPN dan Surat
Setoran Pengembalian Belanja (SSPB).
SPM yang telah diterbitkan SP2D-nya oleh KPPN dan telah dicairkan (telah
dilakukan pendebetan rekening kas negara) tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini
terdapat pada pasal 5 angka 8 Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-66/PB/2005
tentang Mekanisme Pelaksanaan atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
yaitu:
1) Perbaikan hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan administrasi sebagai berikut:
a) Kesalahan pembebanan pada MAK;
b) Kesalahan pencantuman kode fungsi, sub fungsi, kegiatan dan sub kegiatan;
c) Uraian pengeluaran yang tidak berakibat jumlah uang pada SPM.
2) Perbaikan SPM sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan oleh Kuasa
PA/penerbit SPM. Selanjutnya SPM perbaikan dimaksud dilampiri dengan SKTJM
disampaikan kepada Kepala KPPN. Mekanisme perbaikan ini melalui penerbitan surat
permohonan perbaikan SPM oleh PA/Kuasa PA yang ditujukan kepada Kepala KPPN.
Berdasarkan surat permohonan ini, KPPN memproses perubahan SPM dimaksud.
B. Kelengkapan Dokumen Dalam Penerbitan SPM
Beberapa kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam proses pengajuan
SPP menjadi SPM, beberapa dokumen yang dipersyaratkan tersebut antara lain:
1) Penerbitan SPM Uang Persediaan (UP):
a. SPP UP.
b. Surat Pernyataan bahwa dana tidak akan digunakan untuk tagihan yang harus
dibayar dengan Langsung (LS).
c. SK pengangkatan bendahara dan atasan langsung bendahara disertai spesimen
tanda tangan dan cap dinas.
2) Penerbitan SPM Ganti Uang Persediaan (GUP):
a. SPP GU
b. Rincian permintaan pembayaran
c. SPTB
d. Kuitansi pembayaran
e. Surat Setoran Pajak (SSP) dan faktur pajak
3) Penerbitan SPM Tambahan Uang Persediaan (TUP)
a. SPP TUP
b. Rincian rencana penggunaan dana.
c. Surat pernyataan dari Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk bahwa tambahan
dana akan digunakan untuk membiayai kegiatan yang mendesak, akan
digunakan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkan SP2D, dan tidak
digunakan untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayar melalui SPMLS
d. Rekening koran yang menunjukan saldo terakhir
e. Besaran TUP diatur sebagai berikut :
(1) Sampai dengan jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus
mendapat persetujuan Kepala Kantor Perbendaharaan setempat (dalam
wilayah kerjanya);
(2) Diatas jumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) harus mendapat
persetujuan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan(dalam wilayah
kerjanya).
4) Penerbitan SPM Langsung (LS) Non Belanja Pegawai
a. Dokumen untuk Pembayaran pengadaan barang dan jasa:
1. SPP
2. Kontrak/SPK pengadaan barang dan jasa sekurang-kurangnya memuat:
a) Para pihak yang menandatangani kontrak
b) Pokok pekerjaan dan uraian jenis/jumlah barang
c) Hak dan kewajiban para pihak
d) Nilai dan harga kontrak serta syarat-syarat pembayaran
e) Persyaratan dan spesifikasi teknis
f) Tempat dan waktu penyelesaian serta syarat penyerahan
g) Jaminan teknis hasil pekerjaan
h) Sanksi dan cidera janji
i) Keadaan force majeur
j) Penyelesaian perselisihan
k) Nomor rekening rekanan
3. Surat peryataan kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk
mengenai penetapan rekanan pemenang
4. Berita acara penyelesaian pekerjaan , berita acara serah terima pekerjaan dan
berita acara pembayaran.
5. Ringkasan kontrak
6. Kuitansi:
a) Ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen
b) Tidak ada coretan
c) Bermaterai cukup
d) Jumlah uang dalam angka dan huruf harus sama
7. Faktur pajak beserta SSP-nya yang telah ditandatangani oleh wajib pajak
8. Jaminan bank (jaminan pemeliharaan, jaminan pelaksanaan dan jaminan
uang muka untuk nilai kontrak di atas Rp 50.000.000,00)
9. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
10. Dokumen lain yang dipersyaratkan dalam kontrak.
b. Dokumen untuk Pembayaran Biaya Langganan Daya dan Jasa (Listrik, Telepon,
Gas dan Air):
1. Bukti tagihan daya dan jasa
2. Nomor rekening pihak ketiga (PLN,Telkom,PDAM, dll)
3. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
c. Dokumen untuk Pembayaran Biaya Perjalanan Dinas (LS melalui Bendahara
Pengeluaran) :
1. SPTB
2. Daftar nominatif yang ditandatangani Kuasa PA (memuat nama pegawai, NIP,
pangkat/golongan, kota tujuan perjalanan dinas, tanggal keberangkatan, lama
perjalanan dinas, jumlah uang, dan nomor rekening bendahara pengeluaran/
pegawai yang melakukan perjalanan dinas)
Untuk dokumen pembayaran biaya perjalanan dinas yang dilakukan melalui
mekanisme LS kepada pihak ketiga mengacu pada pembayaran pengadaan
barang dan jasa.
5) Penerbitan SPM LS Belanja Pegawai
a. Dokumen untuk Gaji Induk/gaji susulan/kekurangan gaji/gaji terusan/ uang duka
wafat/tewas
1. SPP LS Gaji Induk
2. Daftar gaji induk
3. Surat setoran pajak (SSP) PPh pasal 21
Apabila terdapat perubahan keterangan pada pegawai bersangkutan, maka
dilampirkan juga:
1. Daftar Gaji Induk/susulan gaji/kekurangan gaji/gaji terusan/uang duka
wafat/tewas;
2. SK CPNS;
3. SK PNS;
4. SK kenaikan pangkat;
5. SK jabatan;
6. Surat Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala ;
7. Surat Pernyataan Pelantikan;
8. Surat Pernyataan Masih Menduduki Jabatan;
9. Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas;
10. Surat Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga;
11. Surat Nikah/Cerai/Kematian;
12. Akta Kelahiran/Putusan Pengesahan/Pengangkatan Anak dari Pengadilan;
13. Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP);
14. Daftar potongan Sewa Rumah Dinas,
15. Surat Keterangan Anak Masih Sekolah/Kuliah/ Kursus
16. Surat Keputusan Mutasi Pindah,
17. Surat Keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji,
18. SK Pemberian Uang Tunggu,
19. SSP PPh pasal 21,
20. Arsip Data Komputer (ADK) aplikasi GPP.
Kelengkapan tersebut harus sesuai peruntukannya.
SPP LS Gaji Induk diterima paling lambat tanggal 10 bulan sebelumnya dan SPM
gaji induk diterbitkan paling lambat tanggal 15 bulan sebelumnya
b. Dokumen untuk Lembur:
1. SPP LS lembur
2. Surat Perintah Kerja (SPK) Lembur;
3. Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur termasuk Rekapitulasi Perhitungan
Lembur yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan
Kuasa PA/PPK;
4. Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;
5. Daftar Hadir Kerja Lembur;
6. SSP PPh pasal 21, dan
c. Dokumen untuk Honor / Vakasi:
1. SPP LS honor / vakasi
2. Daftar Perhitungan Honor / vakasi yang telah ditandatangani oleh Kuasa PA/
Pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran yang bersangkutan.
3. SK tentang pemberian honor vakasi
4. SSP PPh pasal 21
C. Pengujian Dokumen dalam Penerbitan SPM
1) SPP-Uang Persediaan dan Tambahan Uang Persediaan (SPP-UP/TUP)
Dokumen-dokumen yang dilakukan pengujian atas kebenarannya yaitu:
a. SPP, SK KPA tentang penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
Pejabat Penandatangan (PP) SPM, bendahara pengeluaran, spesimen
tandatangan pejabat pengelola keuangan dan cap satker, serta DIPA satker.
1. Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kesesuaian SPP
dibandingkan dengan DIPA antara lain unsur:
a) nama satker, kode satker, nama Kuasa Pengguna Anggaran dan
nomor DIPA.
b) kegiatan, subkegiatan, MAK/akun, dan ketersediaan pagu dana DIPA.
2. Dalam hal terdapat kesesuaian atas pengujian di atas, terhadap DIPA
dimaksud dibuatkan kartu pengawasan kredit (kartu pengawasan DIPA)
untuk DIPA bersangkutan.
3. Menguji SPP dengan SK pengangkatan/penunjukan pejabat yang
berwenang menandatangani SPP(KPA/PPK), serta spesimen tanda
tangan/cap satker.
b. Adanya surat pernyataan KPA bahwa UP tersebut tidak untuk membiayai
pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
c. Pengujian besaran UP yang diminta dihitung berdasarkan pagu DIPA
menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP.
d. Khusus untuk SPP-TUP dilakukan pengujian atas:
1. Rincian rencana penggunaan dana TUP yang digunakan dalam waktu
satu bulan;
2. Rekening koran yang menunjukkan saldo terakhir;
3. Saldo pagu DIPA yang menurut klasifikasi belanja diijinkan untuk
diberikan UP,
4. Adanya surat pernyataan KPA tentang dana TUP dimaksud tidak untuk
membiayai pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
b) SPP-Penggantian Uang Persediaan (SPP-GUP)
Pengujian kebenaran SPP-GUP dan dokumen persyaratannya meliputi:
1. SPP dan kartu pengawasan kredit:
a. Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kebenaran SPP
dibandingkan dengan kartu induk pengawasan kredit (kartu pengawasan
DIPA) antara lain unsur:
1) Nama satker, kode satker, pejabat pembuat komitmen, dan nomor
DIPA
2) Spesimen tandatangan PPK dan cap satker
3) Kegiatan, sub kegiatan, MAK, dan kesesuaian saldo dana DIPA
4) Pengujian atas jumlah dana dalam SPP-GUP dibandingkan dengan
saldo dana UP yang ada pada bendahara dengan syarat SPP-GUP
dapat diterima dalam hal dana UP telah dipergunakan sekurangkurangnya
75%.
b. Menguji kesesuaian SPP dengan jumlah pengeluaran yang tercantum
dalam daftar rincian permintaan pembayaran.
c. Berdasarkan rincian pengeluaran yang tercantum dalam daftar rincian
permintaan pembayaran dan SPTB dilakukan pengujian untuk masingmasing
pengeluaran (SPK, kuitansi, Berita Acara Serah Terima
Barang/Jasa, SSP).
2. Pengujian kuitansi dilakukan untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Nama wajib bayar yang tertulis dalam kuitansi harus atas nama jabatan.
Contoh : Sudah terima dari Kuasa Pengguna Anggaran………
b. Nama yang berhak menerima yang tertulis dalam kuitansi adalah nama
dan jabatan orang yang menerima pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan kegiatan/pekerjaan dan ditandatangani oleh yang
bersangkutan. Untuk Badan Usaha (perusahaan) dibubuhi stempel
perusahaan. Apabila yang menerima adalah kuasa penerima, maka harus
didukung dengan Surat Kuasa dari orang yang berhak kepada yang
dikuasakan di atas kertas bermaterai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
c. Setuju dibayar yang ditandatangani oleh KPA atau PPK dan Keterangan
lunas dibayar yang ditandatangani oleh Bendahara Pengeluaran.
d. Uraian pembayaran harus memuat lingkup kegiatan/pekerjaan yang
dilaksanakan (jumlah dan macam barang/jasa)
e. Jumlah yang dibayarkan harus sama antara yang tertulis dengan angka
dan huruf.
f. Tahun anggaran dan mata anggaran/akun yang tertulis dalam kuitansi
adalah tahun anggaran berjalan dan mata anggaran/akun sesuai dengan
pembebanan anggaran.
g. Bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah) untuk SPK/Kontrak. Untuk
kuitansi dengan nilai Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d.
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,- (tiga
ribu rupiah). Untuk kuitansi bernilai di atas Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah) dikenakan bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).
h. Dalam redaksi penulisan pada kuitansi tidak dibenarkan adanya coretan/
hapusan/tindisan khususnya penulisan jumlah uang dengan angka dan
huruf.
i. Jumlah uang yang tertera dalam kuitansi harus sama dengan jumlah uang
yang tertera dalam Berita Acara Pembayaran sesuai dengan kemajuan
pekerjaan yang tertuang dalam kontrak/SPK.
j. Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada
satu rekanan tidak boleh melebihi Rp.10.000.000,00 kecuali untuk
pembayaran honorarium dan perjalanan dinas.
k. Untuk pengadaan sampai dengan Rp.5.000.000,00 pembayarannya
dapat dilakukan dengan kuitansi pembayaran bermaterai sesuai aturan
(esensi Pasal 31 Keppres 80/2003)
3. Pengujian Daftar Nominatif
Dilakukan atas unsur antara lain:
a. Kesesuaian jumlah orang dan biaya dalam daftar nominatif dengan bukti
pengeluaran
b. Kebenaran perhitungan pada daftar nominatif
c. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
4. Pengujian Surat Perintah Kerja (SPK)
a. Untuk kegiatan/pekerjaan yang ditentukan dalam SPK, dilakukan
pemeriksaan apakah dananya masih tersedia dalam DIPA dan sesuai
dengan POK-nya.
b. Kesesuaian nama jabatan pembuat komitmen pada satker bersangkutan
dengan penandatangan SPK.
c. Hak dan kewajiban yang tertuang dalam SPK tidak boleh merugikan kedua
belah pihak.
d. Spesifikasi teknis barang/pekerjaan yang diperjanjikan diuraikan dengan
jelas dan pasti dalam SPK yang akan dijadikan rujukan dalam pengujian
Berita Acara Penyerahan Pekerjaan (BAPP).
e. Nilai/harga SPK dan syarat-syarat pembayaran:
1) Nilai/harga SPK sudah termasuk pajak;
2) Pembayaran oleh satker harus mempersyaratkan telah diterimanya
terlebih dahulu prestasi kerja dari rekanan yang dibuktikan dengan
Berita Acara Penyerahan Pekerjaan (BAPP);
3) Pembubuhan materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
f. Mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) rekanan
5. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Prestasi fisik pekerjaan yang akan diserahkan sudah harus 100%.
6. Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Pernyataan penyerahan pekerjaan dari penerima kerja kepada pemberi
kerja.
7. SPTB
SPTB memuat sejumlah pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja
dan pengujiannya dilakukan dengan membandingkan dengan bukti-bukti
pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja.
8. Surat Setoran Pajak (SSP) dan faktur pajak
Pengujian dokumen SSP dan faktur pajak antara lain dilakukan atas unsur:
a. Kebenaran NPWP, nama, dan alamat wajib pajak
b. Kebenaran kode mata anggaran (akun), bulan, dan tahun anggaran
c. Ketepatan perhitungan pajak yang dikenakan
d. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
e. Adanya tanda tangan dan stempel rekanan
f. Adanya validasi bank/pos (tercantum NTPN)
c) SPP-LS Belanja Non Pegawai
Pengujian kebenaran SPP-LS dan dokumen persyaratannya meliputi:
1. SPP
Atas SPP yang diajukan dilakukan pengujian kebenaran SPP dengan
membandingkan:
a. SPP dengan DIPA, antara lain untuk elemen:
1) Nama satker, kode satker, pejabat pembuat komitmen, nomor dan
tanggal DIPA.
2) Nama Kementerian/Lembaga, Unit Organisasi, Lokasi, Tempat dan
alamat
3) Kode fungsi, subfungsi, program, kegiatan, subkegiatan
b. SPP dengan kartu pengawasan kredit (kartu pengawasan DIPA), antara
lain untuk elemen: kesesuaian saldo dana DIPA.
c. SPP dengan kartu pengawasan kontrak, antara lain untuk elemen:
kesesuaian saldo dana kontrak.
d. SPP dengan kuitansi, berita acara pembayaran, dan kontrak untuk:
1) jumlah pembayaran,
2) nama rekanan, alamat rekanan, nomor rekening rekanan, dan
3) nomor-tanggal-nilai kontrak.
Khusus untuk pembayaran dengan sistem termin kiranya memperhatikan
pemotongan/pengembalian uang muka agar tidak terjadi kelebihan
pembayaran kepada rekanan.
2. Surat Perintah Kerja (SPK)/kontrak
Pengujian terhadap SPK/kontrak dilakukan dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Kesesuaian nama pejabat pembuat komitmen pada satker bersangkutan
dengan penandatangan kotrak dan kesesuaian nama rekanan dengan
surat pernyataan KPA mengenai penetapan rekanan.
b. Hak dan kewajiban yang tertuang dalam SPK tidak boleh merugikan kedua
belah pihak.
c. Spesifikasi teknis barang/kerjaan yang diperjanjikan diuraikan dengan jelas
dan pasti dalam kontrak yang akan dijadikan rujukan dalam pengujian
BAPP.
d. Nilai/harga kontrak dan syarat-syarat pembayaran:
1) Nilai/harga kontrak sudah termasuk pajak.
2) Uang muka dapat diberikan setinggi-tingginya 30% dari nilai kontrak
kepada usaha kecil dan setinggi-tingginya 20% dari nilai kontrak
kepada usaha selain usaha kecil, dengan mensyaratkan adanya
jaminan bank minimal sebesar uang muka yang dibayarkan.
3) Pembayaran oleh satker harus mempersyaratkan telah diterimanya
terlebih dahulu prestasi kerja dari rekanan yang dibuktikan dengan
Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan dan/atau BAST Pekerjaan.
4) Pengembalian uang muka harus diperhitungkan pembayaran prestasi
pekerjaan (termin) dan paling lambat harus lunas pada saat
pembayaran pekerjaan mencapai prestasi 100%.
5) Dalam hal kontrak dipersyaratkan adanya masa pemeliharaan, maka
pembayaran 100% kepada rekanan dapat dilakukan setelah
selesainya masa pemeliharaan (BAST Pekerjaan tahap kedua) yang
masa pemeliharaannya ditetapkan dalam kontrak atau dilakukan
setelah penyedia jasa menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar
5% dari nilai kontrak (setelah BAST Pekerjaan tahap pertama).
6) Pembayaran yang mensyaratkan hal tertentu (misalnya: uji coba
terlebih dahulu atas barang yang diperjanjikan) maka pengaturan hal
tersebut perlu dituangkan dalam kontrak yang pelaksanaannya
dibuktikan dengan berita acara uji coba atau persyaratan lainnya.
e. Tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan pekerjaan dengan
disertai jadwal waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti dengan syaratsyarat
penyerahannya/penyelesaiannya tidak melampaui tahun anggaran.
f. Denda adalah sanksi finansial yang dikenakan kepada penyedia dan/atau
pengguna barang/jasa karena terjadi cidera janji. Sanksi ini harus
tercantum di dalam kontrak sebagai berikut:
1) Bila terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari kelalaian
penyedia barang/jasa, maka penyedia barang/jasa yang bersangkutan
dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1 ‰ (satu per
seribu) per hari dari nilai kontrak.
2) Bila terjadi keterlambatan pekerjaan/pembayaran karena semata-mata
kesalahan/kelalaian pengguna barang/jasa, maka pengguna barang/jasa
membayar kerugian yang ditanggung penyedia barang/jasa akibat
keterlambatan dimaksud, yang besarnya ditetapkan dalam kontrak
sesuai peraturan perundang-undangan.
g. Hal-hal lain yang harus diatur dalam kontrak adalah:
1) Pemutusan kontrak secara sepihak.
2) Keadaan memaksa (force majeur).
3) Kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksaaan
pekerjaan.
4) Penyelesaian perselisihan.
5) Penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri secara tegas dan
terperinci dalam lampiran kontrak.
h. Membubuhkan materai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
i. Memperhatikan jenis kontrak pekerjaan tertentu (untuk kontrak
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang terpisah): untuk kontrak
perencanaan tidak dapat dibayarkan jika kontrak pekerjaan fisiknya belum
dibuatkan SPK/kontraknya. Demikian pula halnya dengan kontrak
pekerjaan pengawasan, pembayarannya tidak dapat dilakukan hingga
100% dalam hal pekerjaan fisiknya belum dilakukan penyerahan kedua.
j. Untuk kontrak pekerjaan kontruksi, sertifikat rekanan sebagai perusahaan
jasa kontruksi harus dilampirkan dalam kontrak yang juga digunakan
sebagai dasar perhitungan pajak penghasilan.
k. Kontrak tahun jamak harus dilampiri persetujuan Menteri Keuangan.
l. Nomor rekening rekanan, NPWP harus dicantumkan dalam kontrak.
m. Dokumen perubahan kontrak harus dilampirkan bila terjadi perubahan
kontrak.
Perubahan kontrak dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa
dan penyedia barang/jasa apabila terjadi perubahan :
1) Lingkup pekerjaan
2) Metode kerja
3) Waktu pelaksanaan
n. Kontrak yang sebagian atau seluruh sumber dananya berasal dari
pinjaman/hibah luar negeri yang mempersyaratkan NOL (No Objection
Letter) atas kontrak, approval, NRC (Notice Regarding Contract) harus
melampirkan NOL, approval, dan NRC dimaksud.
3. Kuitansi
a. Nama wajib bayar yang tertulis dalam kuitansi harus atas nama jabatan.
Contoh : Sudah terima dari Kuasa Pengguna Anggaran………
b. Nama yang berhak menerima yang tertulis dalam kuitansi adalah nama
dan jabatan orang yang menerima pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan kegiatan/pekerjaan dan ditandatangani oleh yang
bersangkutan. Untuk Badan Usaha (perusahaan) dibubuhi stempel
perusahaan. Apabila yang menerima adalah kuasa penerima, maka harus
didukung dengan Surat Kuasa dari orang yang berhak kepada yang
dikuasakan bermaterai Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah)
c. Tanda tangan setuju dibayar oleh Kuasa PA/PPK untuk kuitansi LS.
d. Uraian pembayaran meliputi lingkup pekerjaan yang diperjanjikan, tanggal
nomor kontrak/SPK dan berita acara yang dipersyaratkan diuji
kesesuaiannya dengan kontrak/SPK dan berita acara.
e. Jumlah yang dibayarkan harus sama antara yang tertulis dengan angka
dan huruf.
f. Tahun anggaran dan mata anggaran/akun yang tertulis dalam kuitansi
adalah tahun anggaran berjalan dan mata anggaran/akun sesuai dengan
pembebanan anggaran.
g. Bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah) untuk SPK/Kontrak. Untuk
kuitansi dengan nilai Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d.
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,- (tiga
ribu rupiah). Untuk kuitansi bernilai di atas Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah) dikenakan bea materai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).
h. Dalam redaksi penulisan pada kuitansi tidak dibenarkan adanya coretan/
hapusan/tindisan khususnya penulisan jumlah uang dengan angka dan
huruf.
i. Jumlah uang yang tertera dalam kuitansi harus sama dengan jumlah uang
yang tertera dalam Berita Acara Pembayaran dan/atau kontrak/SPK.
4. Berita Acara Pembayaran (BAP)
Berita acara pembayaran, sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
b. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
c. Dasar pembuatan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan.
d. Harga kontrak.
e. Perhitungan pembayaran meliputi:
f. Jumlah yang telah dibayarkan sampai dengan angsuran yang lalu.
g. Jumlah angsuran dalam berita acara pembayaran.
h. Perhitungan uang muka dan potongan lainnya.
i. Jumlah yang berhak diterima.
j. BAP dibuat berdasarkan pada BAPP. Untuk itu dilakukan pengujian pada
BAPP berkaitan dengan persentase penyelesaian pekerjaan yang telah
digunakan sebagai dasar perhitungan BAP.
k. Pembayaran prestasi hasil pekerjaan yang jenis pekerjaannya berupa
pemasangan/konstruksi hanya dapat dilakukan senilai pekerjaan yang
telah terpasang, tidak termasuk bahan-bahan, alat-alat di lapangan.
l. Bila terjadi ketidaksesuaian dalam perhitungan prestasi hasik pekerjaan,
tidak akan menjadi alasan untuk menunda pekerjaan. Pengguna jasa
dapat meminta penyedia jasa untuk menyampaikan perhitungan prestasi
sementara dengan mengesampingkan hal-hal yang sedang menjadi
perselisihan dan besarnya tagihan yang dapat disetujui untuk dibayar
setinggi-tingginya sebesar 80% dari jumlah nilai tagihan.
5. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.
Sekurang-kurangnya memuat:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Prestasi fisik pekerjaan yang telah diselesaikan.
6. Berita Acara Serah Terima (BAST) Pekerjaan
Sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Hari dan tanggal pembuatan berita acara.
b. Nama, jabatan, dan alamat kedua belah pihak.
c. Nama dan tanda tangan kedua belah pihak.
d. Pernyataan penyerahan pekerjaan dari penerima kerja kepada pemberi
kerja.
7. Berita Acara Status Pekerjaan/Mutual Check
Adalah dokumen yang dibuat oleh pengawas lapangan berisi persentase
tingkat penyelesaian pekerjaan pengadaan. Berita acara ini digunakan untuk
pekerjaan yang memang membutuhkan pengawas lapangan. Berita acara ini
digunakan sebagai dasar pembuatan BAPP.
8. Jaminan Uang Muka
Bentuk surat jaminan ini harus sesuai dengan ketentuan dokumen kontrak
dan harus diterbitkan oleh bank umum atau perusahaan asuransi yang
mempunyai program asuransi kerugian (surety bond) yang harus
direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Nilai surat
jaminan bank tersebut sekurang-kurangnya sama dengan uang muka/yang
diberikan.
9. Surat Pernyataan Penetapan Rekanan
Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh Kuasa PA mengenai penetapan
rekanan.
10. SSP dan faktur pajak
Menguji kebenaran perhitungan pajak yang dituangkan dalam SSP dan
faktur pajak.
Pengujian dokumen SSP dan faktur pajak antara lain dilakukan atas unsur:
a. Kebenaran NPWP, nama, dan alamat wajib pajak
b. Kebenaran kode mata anggaran (akun), bulan, dan tahun anggaran
c. Ketepatan perhitungan pajak yang dikenakan
d. Kesesuaian penulisan jumlah angka yang dibayarkan dengan huruf
e. Adanya tanda tangan dan stempel rekanan
11. Resume Kontrak
Merupakan ringkasan dari kontrak yang akan diajukan sebagai lampiran
SPM ke KPPN. Resume kontrak ini diuji kesesuaiannya dengan kontrak
berkenaan.
12. SPTB
SPTB memuat sejumlah pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja
dan pengujiannya dilakukan dengan membandingkan dengan bukti-bukti
pengeluaran per subkegiatan dan klasifikasi belanja.
5. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh
KPPN selaku Kuasa BUN di daerah untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN
berdasarkan SPM. Proses penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan sebagai berikut:
a. Pengguna Anggaran/Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan SPM
beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) berupa
soft copy (disket) melalui loket Penerimaan SPM pada KPPN atau melalui Kantor
Pos.
b. SPM Gaji Induk harus sudah diterima KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan
pembayaran.
c. Petugas KPPN pada loket penerimaan SPM memeriksa kelengkapan SPM, mengisi
check list kelengkapan berkas SPM, mencatat dalam Daftar Pengawasan
Penyelesaian SPM, dan meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke Seksi
Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut.
Apabila pengajuan SPM oleh satker dinyatakan lengkap dan benar berdasarkan
pengujian dan pemeriksaan kelengkapan berkas oleh petugas loket KPPN, selanjutnya
oleh KPPN diterbitkan SP2D dengan ketentuan sebagai berikut:
1) SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan SP2D.
2) SPM dimaksud dilampiri bukti pengeluaran sebagai berikut:
a) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) belanja pegawai:
1. Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan Vakasi yang
ditanda tangani oleh Kuasa PA atau pejabat yang ditunjuk dan Bendahara
Pengeluaran;
2. Surat-surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi perubahan pada daftar
gaji;
3. Surat Keputusan Pemberian honor/vakasi dan SPK lembur;
4. Surat Setoran Pajak (SSP).
b) Untuk keperluan pembayaran langsung (LS) non belanja pegawai:
1. Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
2. SPTB;
3. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
c) Untuk keperluan pembayaran TUP:
1. Rincian rencana penggunaan dana;
2. Surat dispensasi Kepala Kantor Wilayah Ditjen. Perbendaharaan untuk TUP
diatas RP 200.000.000 (dua ratus juta rupiah);
3. Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk
yang menyatakan bahwa:
a. Dana Tambahan UP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak
dan akan habis digunakan dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal
diterbitkan SP2D;
b. Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetorkan ke Rekening Kas
Negara;
c. Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara
langsung.
d) Untuk keperluan pembayaran GUP:
1. SPTB;
2. Faktur Pajak dan SSP (surat setoran pajak);
3) Bukti asli lampiran SPP merupakan arsip yang disimpan oleh PA/KPA.
4) Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat
substansif dan formal.
a) Pengujian substantif dilakukan untuk:
1. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
2. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang
ditunjuk dalam SPM tersebut;
3. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat
Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
4. menguji SPTB dari kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk
mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
5. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
b) Pengujian formal dilakukan untuk:
1. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen
tandatangan;
2. memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
3. memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat
dalam penulisan.
5) Keputusan hasil pengujian ditindak lanjuti dengan penerbitan SP2D jika SPM yang
diajukan memenuhi syarat yang ditentukan, tetapi apabila SPM yang diajukan tidak
memenuhi syarat maka SPM dimaksud dikembalikan kepada penerbit SPM.
6) Pengembalian SPM diatur sebagai berikut:
a. SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk dikembalikan paling lambat tiga hari kerja
setelah SPM diterima;
b. SPM UP/TUP/GUP dan LS dikembalikan paling lambat satu hari kerja setelah
SPM diterima.
7) Penerbitan SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu sebagai berikut:
a. SP2D Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja sebelum awal bulan
pembayaran gaji.
b. SP2D Non Gaji Induk diterbitkan paling lambat lima hari kerja setelah diterima
SPM secara lengkap.
c. SP2D UP/TUP/GUP dan LS paling lambat satu hari kerja setelah diterima SPM
secara lengkap.
+++++++++++++++++++++++
Gambar 6 : Proses Penerbitan SP2D pada KPPN
+++++++++++++++++++++++
D. Pelaksanaan Penerimaan pada Satuan Kerja
1. Prinsip Penerimaan Negara
Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa
pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, salah satu hak pemerintah pusat adalah
menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja
negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai
penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah
uang yang masuk ke kas negara. Dikatakan masuk ke kas negara mengandung makna
tercatat dalam akuntansi/pembukuan kas negara atau kas umum negara. Dengan
demikian pendapatan negara adalah semua penerimaan kas negara/kas umum negara
(uang pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana
dalam periode satu tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat.
Dalam sistem APBN, pendapatan negara mempunyai dua fungsi yaitu fungsi
anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan negara sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler)
dalam arti bahwa pendapatan negara sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, setiap pemungutan pendapatan negara oleh pemerintah pusat
maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan dari masyarakat, maka setiap
pungutan pendapatan negara harus memenuhi beberapa syarat:
1) pemungutan pendapatan negara berdasarkan keadilan yaitu sesuai dengan tujuan
hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya
mengenakan pemungutan secara umum dan merata serta pelaksanaan pemungutan
pendapatan negara tidak membeda-bedakan.
2) pemungutan pendapatan negara harus berdasarkan undang-undang.
3) pemungutan pendapatan negara tidak menggangu perekonomian.
4) pemungutan pendapatan negara tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
5) pemungutan pendapatan negara harus efisien yaitu sesuai fungsi budgetair, biaya
pemungutan pendapatan negara harus dapat ditekan lebih rendah dari hasil
pemungutannya.
6) Sistem pemungutan pendapatan negara harus sederhana yaitu akan memudahkan
dan mendorong masyarakat (perorangan atau badan) dalam memenuhi kewajiban
tersebut.
Menurut Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 72
tahun 2004 di pasal 2 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendapatan negara yaitu semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan,
penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar
negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pada ayat (2) pasal yang sama
disebutkan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening kas negara pada bank sentral dan atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
2. Jenis-Jenis Pendapatan Negara
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19
Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari
Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah,
Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan
Perhitungan Fihak Ketiga.
a) Penerimaan Perpajakan.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari
penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Yang dimaksud
pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai
dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional adalah semua
penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.
Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak
negara wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening kas
negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Orang atau badan yang melakukan pemungutan pajak atau penerimaan uang negara
wajib menyetorkan seluruh penerimaan dalam batas waktu satu hari kerja setelah
penerimaannya ke rekening kas negara.
Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi
pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dan
badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/anggaran
BUMN/BUMD, ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, setiap bendahara, instansi
pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan badan-badan lain sebagai wajib
pungut pajak, wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu hari kerja setelah uang pajak diterimanya. Jenisjenis
pajak yang dipungut oleh bendahara pemerintah antara lain:
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
Secara umum objek dari PPh 21 adalah penghasilan, antara lain gaji, upah, uang
pensiun bulanan, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris,
atau anggota dewan pengawas), uang lembur, tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan jabatan, tunjangan kemahalan, tunjangan khusus, tunjangan transport,
upah harian, upah mingguan, penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan
lainnya dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh bukan (yang
dikecualikan sebagai) Wajib Pajak.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Menteri Keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut
pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badanbadan
tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Pajak Penghasilan pasal 23
Setiap Bendahara wajib memungut PPh pasal 23 untuk jasa-jasa sebagaimana
diatur dalam UU perpajakan, dengan tarif sesuai ketentuan untuk transaksi di
atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang dikecualikan
dari pajak. Jika suatu transaksi yang dibayarkan bendahara sudah dikenakan
PPh pasal 22 maka tidak dikenakan PPh pasal 23 dan juga sebaliknya.
4. Pajak Pertambahan Nilai
Untuk semua penyerahan barang/jasa kepada instansi pemerintah dipungut PPN
sebesar 10% dari Harga Dasar Pengenaan Pajak untuk transaksi diatas Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), kecuali barang/jasa yang dikecualikan dari pajak.
5. Bea materai
Untuk transaksi Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) s.d. Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai Rp 3.000,00 (tiga ribu
rupiah) dan jika di atas Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan bea materai
Rp 6000,00 (enam ribu rupiah).
b) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat
yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, antara lain sumber daya alam, bagian
pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.
Setiap anggaran satker pada dasarnya mempunyai: (i) PNBP yang bersifat umum
yaitu penerimaan yang tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, antara
lain seperti penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan
lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara
pada bank pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan,
dan (ii) PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil
pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan
tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada kementerian negara/lembaga, tergantung
kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga.
c) Penerimaan Hibah
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari
sumbangan swasta dalam negeri serta sumbangan lembaga swasta dan pemerintah luar
negeri yang menjadi hak pemerintah.
Penerimaan hibah dapat berupa uang, barang maupun jasa termasuk tenaga ahli
atau pelatihan. Sumbangan mengandung arti bahwa hibah tidak perlu dibayar kembali
kepada pemberi hibah. Penerimaan hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah,
devisa atau surat berharga. Penerimaan hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang
bergerak seperti perlatan dan mesin dan barang tidak bergerak seperti gedung dan
bangunan. Penerimaan hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis,
pendidikan, pelatihan dan jasa lainnya.
Penarikan hibah luar negeri antara yang satu dengan hibah luar negeri lainnya
tidak sama, karena setiap penarikan sangat tergantung dari naskah perjanjian hibah luar
negeri yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan negara/badan pemberi hibah.
Dalam naskah perjanjian hibah luar negeri biasanya diatur antara lain mengenai
jumlah hibah yang diberikan, prosedur pengadaan barang/jasa memakai local competitive
bidding atau international competitive bidding, tata cara penarikan hibah dan
persyaratannya, tanggal efektif hibah, batas waktu closing date dan lainnya.
d) Penerimaan Pengembalian Belanja.
Penerimaan Pengembalian Belanja adalah seluruh penerimaan negara yang berasal
dari pengembalian belanja tahun anggaran berjalan. Penerimaan pengembalian belanja
ini dapat terjadi karena kelebihan pembayaran atas belanja yang dibebankan kepada
negara yang diakibatkan kesalahan/kelalaian bendahara pengeluaran dalam melakukan
pembayaran maupun dalam melakukan pembebanan akun sehingga atas kelebihan
pembayaran tersebut harus disetor ke kas negara. Penerimaan pengembalian belanja
dapat berupa:
a. Penerimaan pengembalian belanja pegawai, seperti :
1. pengembalian belanja gaji pokok PNS,
2. pengembalian belanja tunjangan anak,
3. pengembalian belanja tunjangan beras,
4. pengembalian belanja honorarium,
5. pengembalian lembur dll.
b. Penerimaan pengembalian belanja barang, seperti :
1. pengembalian belanja perjalanan dinas,
2. pengembalian belanja barang inventaris,
3. pengembalian belanja sewa,
4. pengembalian belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, dll.
c. Penerimaan pengembalian belanja modal, misalnya :
1. pengembalian belanja modal tanah,
2. pengembalian belanja modal peralatan dan mesin,
3. pengembalian belanja modal gedung,
4. pengembalian belanja modal jalan/jembatan, dll
d. Penerimaan pengembalian belanja tahun yang lalu, misalnya :
1. pengembalian belanja pegawai Pusat tahun yang lalu,
2. pengembalian belanja lainnya tahun yang lalu (RM),
3. pengembalian belanja pensiun tahun yang lalu, dll.
e) Penerimaan Pembiayaan.
Penerimaan Pembiayaan adalah semua penerimaan negara yang digunakan
untuk menutup defisit anggaran negara dalam APBN, antara lain berasal dari
penerimaan pinjaman dan hasil devestasi. Contoh penerimaan pembiayaan antara
lain:
1. Penerimaan Pinjaman/Kredit Jangka Pendek dan Uang Muka dari Sektor
Perbankan,
2. Penerimaan Sisa Anggaran Lebih (SAL),
3. Penerimaan Hasil Privatisasi,
4. Penerimaan Hasil Penjualan Aset Program Restrukturisasi,
5. Penerimaan Surat Utang Negara/Obligasi dalam/luar negeri.
f) Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga
Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga adalah semua penerimaan negara yang
berasal dari potongan penghasilan pegawai negeri sipil serta setoran subsidi dan
iuran pemerintah daerah dalam rangka penyelengaraan asuransi kesehatan, contoh:
1. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji PNS Pusat/Daerah,
2. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 10% Gaji Polri/TNI dan PNS Polri/TNI,
3. Penerimaan Setoran/Potongan PFK 2% Pembayaran Gaji Terusan PNS
Pusat/Daerah,
4. Penerimaan Setoran/Potongan PFK Bulog PNS Pusat/Daerah,
5. Penerimaan Setoran PFK 2 % Iuran Asuransi Kesehatan Propinsi/Kab/ Kota,
6. Penerimaan Setoran Potongan PFK Tabungan Wajib Perumahan PNS
Pusat/Daerah.
3. Penatausahaan Pendapatan Negara
Bendahara Penerimaan wajib menyetor penerimaan negara setiap akhir hari
kerja ke kas negara dan wajib mengirim Rekening Koran bulan/Laporan Realisasi
Penerimaan ke KPPN. Dalam hal penerimaan negara diterima pada hari libur dan/atau di
daerah tersebut tidak terdapat Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi, maka
Bendahara Penerimaan menyetor penerimaan tersebut selambat-lambatnya pada hari
kerja berikutnya. Yang dimaksud dengan Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk penerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka
impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak.
Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor. Sedangkan Pos
Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran
penerimaan negara.
Khusus untuk PNBP dikenal adanya pengecualian dalam pengelolaannya. Suatu instansi
yang mempunyai PNBP fungsional dapat menggunakan sebagian PNBP tersebut untuk
membiayai operasional Satker tersebut setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan.
Kegiatan tertentu yang dapat dibiayai dari PNBP, meliputi kegiatan:
a. Penelitian dan pengembangan teknologi, antara lain meliputi kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang pertanian dan pertambangan;
b. Pelayanan kesehatan, antara lain meliputi kegiatan pelayanan rumah sakit dan balai
pengobatan;
c. Pendidikan dan pelatihan, antara lain meliputi kegiatan perguruan tinggi dan balai
latihan keja;
d. Penegakan hukum, antara lain kegiatan dalam rangka pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan ketentuan hukum, serta pemberian hak atas kekayaan
intelektual;
e. Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, antara lain kegiatan
pemberian jasa konsultasi, jasa analisis, uji mutu dan pemantauan lingkungan,
pembuatan hujan buatan, uji pencemaran radiasi pada makanan;
f. Pelestarian sumber daya alam, antara lain meliputi kegiatan usaha pelestarian sumber
daya kehutanan dan perikanan.
Sistem pemungutan PNBP mempunyai ciri tersendiri dan dapat dibagi dalam dua
kelompok sehubungan dengan penentuan jumlah PNBP yang terhutang, yaitu ditetapkan
oleh instansi pemerintah atau dihitung sendiri oleh wajib bayar. Untuk jenis PNBP yang
menjadi terhutang sebelum wajib bayar menerima manfaat atas kegiatan pemerintah,
seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, maka penentuan jumlah PNBP yang
terhutang dalam hal ini ditetapkan oleh instansi pemerintah. Namun, dalam hal wajib
bayar menjadi terhutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya
alam, maka penentuan jumlah PNBP yang terhutang dapat dipercayakan kepada wajib
bayar yang bersangkutan untuk menghitung sendiri dalam rangka membayar dan
melaporkan sendiri (self assessment).
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/
Bendahara Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal
pembayaran. Tata cara pembayaran/penyetoran dilakukan sebagai berikut:
a. Pembayaran melalui loket/teller Bank/Pos
1) Mengisi formulir bukti setoran dengan data yang lengkap, benar, dan jelas dalam
rangkap 4 (empat);
2) Menyerahkan formulir bukti setoran kepada petugas Bank/Pos dengan
menyertakan uang setoran sebesar nilai yang tersebut dalam formulir yang
bersangkutan;
3) Menerima kembali formulir bukti setoran lembar ke-1 dan lembar ke-3, yang telah
diberi NTPN dan NTB/NTP serta dibubuhi tanda tangan/paraf, nama pejabat
Bank/Pos, cap Bank/Pos, tanggal, dan waktu/jam setor sebagai bukti setor;
4) Menyampaikan bukti setoran kepada unit terkait.
b. Pembayaran melalui electronic banking (e-banking)
1) Melakukan pendaftaran pada sistem registrasi pembayaran via internet di
www.djpbn.depkeu.go.id;
2) Mengisi data setoran dengan lengkap dan benar untuk mendapatkan Nomor
Register Pembayaran (NRP). Masa berlaku NRP sampai dengan jangka waktu
yang ditetapkan;
3) Untuk tagihan yang ditetapkan instansi pemerintah, pendaftaran dilakukan oleh
instansi terkait dan NRP tercantum pada surat tagihan dimaksud;
4) Melakukan pembayaran dengan menggunakan NRP;
5) Menerima NTPN sebagai bukti pengesahan setelah pembayaran dilakukan;
6) mencetak BPN melalui sistem registrasi pembayaran atau di Bank dengan
menunjukkan NTPN/NTB;
7) menyampaikan BPN kepada unit terkait.
Dokumen yang harus ditatausahakan oleh Bendahara Penerima pada
penatausahaan pendapatan negara pada satker di lingkungan kementerian/lembaga
adalah dokumen sumber penerimaan. Seluruh dokumen sumber penerimaan negara
dinyatakan sah setelah mendapat Nomor transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan
Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan
(NPP). NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan
melalui MPN.
NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan
oleh Bank. NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang
diterbitkan oleh Kantor Pos. NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang
berasal dari potongan SPM yang diterbitkan oleh KPPN. KPPN mengesahkan data
penerimaan yang berasal dari potongan SPM yang sudah diterbitkan SP2D untuk
mendapatkan NTPN paling lambat setiap akhir hari kerja.
Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat Bank/Pos
dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih dari 1 (satu) hari, maka
Bank/Pos wajib menerima setoran penerimaan negara dan mengadministrasikan
penerimaan negara secara off-line dan memberikan NTB/NTP pada dokumen sumber.
Dokumen sumber tersebut antara lain:
1. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat setoran atas pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang;
2. Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (SSPBB) adalah surat setoran atas
pembayaran atau penyetoran PBB dari tempat pembayaran ke Bank Persepsi PBB;
3. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) adalah surat
setoran atas pembayaran atau penyetoran BPHTB dari tempat pembayaran ke Bank
Persepsi BPHTB;
4. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) adalah surat
setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, bea masuk
berasal dari SPM Hibah, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai,
penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga, dan PPh Pasal 22 Impor, PPN
Impor, serta PPnBM Impor;
5. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP) adalah surat setoran atas penerimaan
negara atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri berupa cukai hasil tembakau,
cukai etil alkohol, cukai minuman mengandung etil alkohol, denda administrasi
penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam
Negeri;
6. Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) adalah surat setoran atas Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) selain yang dimaksud pada angka 1, 2, 3, 4,dan 5 di atas;
7. Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) adalah surat setoran atas penerimaan
pengembalian belanja tahun anggaran berjalan;
8. Surat Tanda Bukti Setor (STBS) adalah surat setoran atas pembayaran pungutan
ekspor, kekurangan pungutan ekspor, dan/atau denda administrasi atas transaksi
pungutan ekspor;
9. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos atas
transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/ NTP dan dokumen yang
diterbitkan oleh KPPN atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan
SPM dengan teraan NTPN dan NPP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar