Jumat, 17 Juni 2011

MPPBJ : BAB VI : TATA CARA PENGADAAN DAN PERSYARATAN PEMBAYARAN PENGADAAN TANAH

BAB VI
TATA CARA PENGADAAN DAN PERSYARATAN
PEMBAYARAN PENGADAAN TANAH

A. Tata Cara Pengadaan Tanah

Tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur melalui
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor : 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, telah diterbitkan
Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres
No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 65
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No. 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sedangkan mekanisme pembayaran biaya panitia pengadaan tanah diatur
melalui Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-31/PB/2008 tentang Mekanisme
Pembayaran Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Yang Dananya Bersumber Dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
Berdasarkan Pasal 2 Perpres No.36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun
2006, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan
pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan contoh sebagaimana
Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2007. Pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud di atas, meliputi :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Pengadaan tanah berbeda dengan pengadaan barang/jasa Pemerintah
lainnya, yakni tidak perlu melalui pelelangan umum. Pengadaan tanah dilakukan
melalui kepanitiaan tersendiri diluar Panitia Pengadaan Barang/Jasa yang telah
ditetapkan oleh KPA yaitu dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang
ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dalam
hal pengadaan tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu hektar) atau dilaksanakan
secara langsung melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati
para pihak;
Pengadaan tanah tersebut pada prinsipnya dilakukan dengan cara
musyawarah dan mufakat antara pemilik tanah dengan Panitia/KPA berpedoman
pada NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dan apabila nilai jual diatas NJOP harus
disertakan surat keterangan dari Lurah.
Sesuai pasal 6 Perpres No.36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun 2006,
pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah Kabupaten/Kota dilakukan
dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota, Khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota dibentuk oleh Gubernur DKI, sedangkan untuk pengadaan tanah
yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan
Panitia Pengadaan Tanah Provinsi yang dibentuk oleh Gubernur dan jika terletak di
dua willayah Provinsi dengan bantuan Panitia Pengadaan tanah yang dibentuk oleh
Menteri Dalam Negeri.

Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah pada masing-masing
tingkat Kab/Kota/Provinsi/Nasional paling banyak 9 (sembilan) orang dengan
susunan :
a. Sekretaris Daerah Kab/Kota unituk panitia Kab/Kota; Sekretaris Daerah
Provinsi unituk panitia Provinsi; Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam
Negeri untuk panitia pusat masing-masing sebagai ketua merangkap anggota;
b. Pejabat daerah dari unsur perangkat daerah/Provinsi yang ditunjuk setingkat
eselon II unituk panitia tingkat Kab/kota/Provinsi; pejabat eselon I Kementerian
Pekerjaan Umum untuk panitia pusat, masing-masing sebagai wakil ketua
merangkap anggota;
c. Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota atau pejabat yang ditunjuk untuk panitia
Kab/Kota; Kepala Kanwil BPN Provinsi atau pejabat yang ditunjuk untuk panitia
provinsi; pejabat eselon I BPN yang ditunjuk untuk panitia pusat; masingmasing
sebagai sekretaris merangkap anggota;
d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kab/Kota yang terkait dengan pelaksanaan
pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk; Kepala Dinas/Kantor/Badan di
provinsi yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang
ditunjuk; Dirjen/Asisten Menteri/Deputi pada instansi yang terkait dengan
pelaksanaan pengadaan tanah; masing-masing sebagai anggota;
e. Gubernur yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk setingkat eselon II
untuk panitia pusat sebagai anggota;
f. Bupati/Walikota yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk setingkat eselon
II untuk panitia pusat sebagai anggota.

Susunan keanggotaan panitia tersebut terdiri dari unsur perangkat daerah
terkait seperti Dinas Pertanian/Perkebunan, Dinas Sospol, BPN, Instansi yang
menanggani PBB (KPP Pratama) dsb atau lebih dikenal dengan Panitia Sembilan.

Tugas dari panitia pengadaan tanah tersebut antara lain :
1. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda lain yang ada kaitan nya dengan tanah yang haknya akan dilepas
atau diserahkan;
2. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya;
3. Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
4. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena
rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana
dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik
melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar diketahui oleh
seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang
hak atas tanah;
5. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
6. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak
atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;
7. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan dan
menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
Musyawarah dimaksudkan adalah kegiatan yang mengandung proses
saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan
masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar
kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang
memerlukan tanah.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan musyawarah
dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai (1) pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum di lokasi tersebut, (2) bentuk dan/atau besarnya ganti
rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam undangan.

B. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengadaan Tanah

1. Sebelum melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pihak
instansi/satker terlebih dahulu perlu melakukan konfirmasi secara formal
kepada instansi terkait (Dinas Tata Kota) setempat mengenai Rencana Tata
Ruang, baik menyangkut peruntukan ataupun maksimum luasan yang dapat
dibangun, termasuk melakukan konfirmasi kepada Kantor Badan Pertanahan
Nasional untuk keabsahan Sertifikat;
Konfirmasi tersebut perlu dilakukan dalam rangka pengamanan dan legalitas
status tanah, terkait dengan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan,
seperti di DKI ternyata untuk daerah-daerah tertentu luasan bangunan yang
diperkenankan maksimal 20% dari luas tanah, hal tersebut dalam rangka
mempertahankan ruang hijau atau memperhitungkan penyerapan air agar tidak
banjir.

2. Pengadaaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Perpres 36 Tahun 2005
jo Perpres 65 tahun 2006, yakni pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan instansi pemerintah, yang dimiliki pemerintah
atau pemda, dapat dilakukan secara langsung melalui jual beli, tukar menukar,
atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Pengadaan dimaksud dapat
dilakukan tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah yang ditetapkan oleh
Bupati/Walikota setempat, Namun untuk transparansi dan agar memperoleh
harga yang wajar, pihak Satker hendaknya membentuk Panitia Pengadaan
Pengadaan Tanah internal dalam rangka membantu KPA.

3. Meskipun dalam pelaksanaan pengadaan tanah tidak termasuk kategori untuk
kepentingan umum, namun pelaksanaannya diharapkan dapat ditempuh
dengan musyawarah dan hasil kesepakatan bersama dan untuk tertib
administrasi dan pengamananya perlu dibuatkan surat undangan formal dan
Berita Acara Kesepakatan disamping disaksikan petugas/pejabat yang
berwenang (minimal lurah/camat) dan dibuatkan dokumentasi.

4. Harga yang dipergunakan sebagai dasar pembayaran/kesepakatan adalah
NJOP yang ditetapkan KP-PBB setempat. Namun jika harga tanah tersebut
melebihi NJOP disarankan untuk memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun
berjalan berdasarkan Penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang
ditunjuk Panitia. Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga yang
ditetapkanoleh Bupati/Walikota dan sudah mendapat lisensi dari BPN,
sedangkan dalam hal di Kab/Kota belum terdapat lembaga dimaksud
Bupati/Walkota dapat membentuk Tim Penilai Harga Tanah. Keanggotaan Tim
Penilai Harga Tanah terdiri dari unsur-unsur instansi yang membidangi
bangunan/dan atau tanaman, instansi pusat yang membidangi pertanahan
nasional, instansi pelayanan PBB, ahli yang berpengalaman sebagai penilai
harga tanah, dan akademisi yang mampu menilai harga
tanah/bangunan/tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Tim
Penilai yang ditunjuk Bupati atau minimal data pendukung lainnya seperti Surat
Keterangan Harga Pasar yang diketahui oleh Lurah dan Camat setempat).

5. Mengingat yang melakukan pembelian adalah instansi pemerintah, maka
sesuai ketentuan Ditjen Pajak, pengadaan tanah tersebut tidak dipungut
BPHTB, untuk itu perlu dimintakan Surat Keterangan Bebas BPHTB dari KPPBB
setempat atau Direktur PBB sesuai kewenangannya.

6. Untuk menampung pengeluaran yang tidak resmi dalam penerbitan/balik nama
Sertifikat Tanah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka dalam
pengurusan/pembuatan Akta Jual Beli di Notaris agar dimasukkan komponen
pengrusan penyelesaian Sertifikat Hak Atas Tanah atau Pelepasan Hak Atas
Tanah dengan menerbitkan Surat Perintah Kerja atau Surat Perjanjian/Kontrak
tersendiri;

7. Tarif atau besaran biaya pembuatan akte jual beli oleh Notaris, sesuai
ketentuan yang berlaku ditetapkan berdasarkan prosentasi maksimal dari harga
pembelian tanah, sehingga agar pengurusan sertifikat termasuk dalam
pembuatan akte jual beli, kiranya perlu adanya negosiasi dengan pihak Notaris.

8. Jika pelaksanaan pengadaan tanah telah selesai, agar dokumen-dokumen
tersebut disimpan dengan baik, namun sebelumnya agar
dicatat/ditatausahakan dalam Kartu Inventaris Barang dan SA-BMN, sehingga
tercatat sebagai barang Inventaris Milik Negara dari Satuan Kerja Kementerian
Negara.

C. Tata Cara Pembayaran Tanah

Pembayaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuai Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan No.PER-66/2005 dilakukan melalui mekanisme
pembayaran Langsung (LS). Namun apabila tidak mungkin dilaksanakan dengan
LS, dapat dilakukan melalui UP/TUP. Sedangkan untuk pembayaran biaya panitia
pengadaan tanah diatur dalam Perdirjen No. PER-31/PB/2008 tentang Mekanisme
Pembayaran Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Yang Dananya Bersumber dari APBN.
Untuk pembayaran pengadan tanah yang pembayarannya dilaksanakan
melalui UP/TUP terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dispensasi dari Kantor
Pusat Ditjen Perbendaharaan untuk satker pusat pada Kementerian
Negara/Lembaga) atau Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk Satker Instansi
Vertikal, sedangkan besaran uangnya harus mendapatkan dispensasi UP/TUP
sesuai ketentuan yang berlaku, yakni dibawah 200 juta rupiah oleh Kepala KPPN,
sedangkan diatas 200 juta rupiah oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.

1. Persyaratan SPP-Langsung :
Sebagai dokumen pendukung dalam penerbitan SPP-LS antara lain adalah:
a) Persetujuan Panitia Pengadaan Tanah untuk tanah yang luasnya lebih dari
1 (satu) hektar di Kabupaten/Kota;
b) Photo copy bukti kepemilikan tanah/sertifikat hak atas tanah;
c) Kuitansi pembayaran;
d) SPPT PBB tahun transaksi;
e) Surat Persetujuan Harga;
f) Pernyataan dari penjual bahwa tanah tidak dalam sengketa dan tidak
sedang dalam agunan;
g) Pelepasan/penyerahan hak atas tanah/akta jual beli dihadapan PPAT;
h) SSP Pph final atas pelepasan hak = 6%;
i) Surat pelepasan adat (bila diperlukan);

2. Persyaratan SPP-UP/TUP :
a) Pengadaan tanah yang luasnya kurang dari 1 (satu) hektar dilengkapi
persyaratan daftar nomitatif pemilik tanah yang ditandatangani oleh Kuasa
PA;
b) Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar dilakukan dengan
bantuan panitia pengadaan tanah di Kabupaten/Kota setempat dan
dilengkapi dengan daftar nominatif pemilik tanah dan besaran harga tanah
yang ditandatangani oleh Kuasa PA dan diketahui oleh Panitia Pengadaan
tanah;
c) Ijin dispensasi pembayaran dengan UP/TUP dari Kantor Pusat Ditjen PB
atau untuk satker pusat Kementerian Negara/Lembaga atau Kanwil DJPB
untuk satker Instansi Vertikal dan Ijin dispensasi permintaan UP/TUP dari
Kanwil Ditjen Perbendaharaan/ KPPN setempat sesuai besarannya untuk
satker Instansi Vertikal.
Dokumen yang dipergunakan sebagai data pendukung pada masing-masing
satker baik untuk pembayaran melalui SPP-LS maupun melalui UP/TUP pada
dasarnya tetap sama, sehingga pada masing-masing satuan kerja harus menyimpan
dokumen sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas, sebagai dokumen arsip
sekaligus dipergunakan sebagai bahan untuk pemeriksaan instansi yang berwenang.
Khusus untuk lingkup Ditjen Perbendaharaan, sesuai Surat Edaran Direktur
Jenderal Perbendaharaan No.SE-106/PB/2005 Tanggal 22 Desember 2005, dalam
rangka pengamanan pengadaan tanah/asset milik Negara telah ditetapkan ketentuan
tambahan sebagai berikut :
1. Dalam pengadaan tanah di lingkup Ditjen Perbendaharaan agar memperhatikan
letak kantor dan rumah dinas;
2. Untuk keperluan evaluasi pengadaan tanah dibentuk Tim Evaluasi yang terdiri dari
Pejabat di lingkungan Kantor Pusat dan Kantor Wilayah yang bertugas menelaah
setiap usulan pengadaan tanah termasuk untuk mengecek lokasi fisik tanah
dimaksud.
3. Masukan tim tersebut akan menjadi persetujuan secara prinsip oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan;
4. NJOP menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan harga beli pengadaan
tanah dimaksud.
Ketentuan tersebut dapat dijadikan referensi bagi Satker pada Kementerian
/Lembaga Negara lainnya dalam rangka mendapatkan lokasi yang strategis, harga
yang wajar dan pengamanan pengadaan terhadap asset milik Negara, terutama
menghindari gugatan hukum dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar